Kamis, 17 Juni 2010

BERBAGI UNTUK SESAMA: PROPOSAL PTK

BERBAGI UNTUK SESAMA: PROPOSAL PTK

makalah fikih almaslahatul mursalah, urf

BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan hukum Fikih tentu berkembang dari masa ke masa, tidak terkecuali pada zaman sekarang ini, dan sudah barang tentu itu memerlukan pemikiran dan solusi untuk menjawabnya.
Terkadang permasalahan-permasalahan yang dihadapi tidak kita temui dan tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun Hadist Rasulullah, sehingga memerlukan Pemikiran-pemikiran para Mujtahid dalam menetapkan hukum dari permasalahan itu.
Dan dalam menentukan ataupun menetapkan hukum tentang permasalah-permasalahan tersebut tentu diperlukan Metode, cara dan juga alasan-alasan yang tepat sehingga nantinya kehujjahannya dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.
Dan di antara bentuk-bentuk dari Ijtihad tersebut adalah Maslahah Al Mursalah, Urf, Istishhab dan Dzariah yang banyak kita temui dalam menetapkan hukum akan permasalahan-persalahan yang berkembang dewasa ini.
Oleh karenanya perlu dibahas tentang pengertian dan juga kedudukannya dalam Islam.


BAB II
MASLAHATUL MURSALAH, URF, ISTISHHAB DAN DZARI’AH

I. MASLAHAH AL MURSALAH ATAU ISTIHLAH
A. Pegertian
Istihlah menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar meelihara kemaslahatan.
Tiga macam kemaslahatan
1. Kemaslahatan yang ditegaskan dalam al Qur’an atu as Sunah , kemaslahatan ini disepakati para ulama’ . contohnya Hifdu nafsi, hifdu mal , dan lain sebagainya .
2. Kemaslahatan yang bertentangan dengan nash syara’ qath’i. Jumhur ulam meno,lak kemaslahantan ini kecuali NajmuddinAthufi dari Mazhab Maliki, sedngkan dlam bertentangkan dengan nash yang dhani para ulam berbeda pendapat dalam hal ini
3. Kemaslahatan yang tidak dinyatakan dalam syara’, tetapi tidak ada dalili yang menolaknya. Inilah yang dimaksud dalam mursalah, para ulam berbeda pendapat dalam hal , para ulam yng menolak mengjunakan istihsa juga menolak pengunaan maslahah mursalah.
Alasan para ulama yang menolak pengunaan Maslahah Mursalah sebagai dalil Syara’
Ulama yan menolak pengunaan Istihlah sebagai dalili syari’ antara lai Imam syafii , beliu menolak pengunaan istihlah dengan disamakan dengan istihsan , alasan para ulama dalam menolak aistihlah sebagai dalil syar’ antara lain Syari’at islam menpunyai tujuan menjaga tujuan kemaslahatan manusia. Sedangkan syara’ tidak menbiarkan manusia dalam keadaan terlantar ftampa petunjuk. Pentunjuk itu itu berdasarkan ibarat nas. Kalu kemaslahatan yang tidak berpedoman
B. Syarat-syarat penggunaan Maslahah Mursalah
1. Al Maslahah Mursalah tidak boleh bertentangan dengan Maqosid Al Syari’ah., dalil-dalil kulli’ semangat ajaran islam dan dalil-dalil juz’i yang qathi wurud dan dalalahnya.
2. kemaslahatan tersebut harus menyakinkan dalam arti harus ada pembahasan dan penilitian yang rasional serta mendalam sehingga kita yakin menberkan manfaat atau menolak kemudharatan.
3. kemaslahatan itu bersifat umum
4. pelaksanaan tidak menimbulkan kesulitan yan tidak wajar

Dengan adanya cara berrijtihad dengan istihsan dan istihlah menyebabkan hukum islam akan dapat menampung hal-hal yang baru dengan tetap tidak akan kehilanagan indetitasnya sebagai hukum islam.
C. Maslahah mursalah Sebagai solusi permasalahan umat
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan teknokrat dan feodal. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Secara etimologi, Maslahah berarti manfaat, kemanfaatan, atau pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan terminologi, Al Gahazali menyatakan bahwa maslahah pada prinsipnya adalah mengambil manfaat dan menolak mudlarat untuk memelihara tujuan-tujuan syariat (Nasution: 114).
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
Tulisan singkat ini mencoba mengkaji maslahah mursalah dan relevansinya dengan perkembangan hukum Islam.

D. Macam-macam Maslahah
1. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya.
Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah,
para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan:
a) Maslahah Dhoruriyyat
Yaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir, maka hilanglah kehidpan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syari’ah.
b) Maslahah Hajiyyat
Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya. Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual beli– serta berbagai macam keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh syari’, misalnya menjama’ dan menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan lain sebagainya.
c) Maslahah Tahsiniyyat
Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya makanan yang kotor danlain sebagainya.
Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat tahsiniy/takmily.
2. Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Pandangan Syari’
Berdasarkan adanya pengakuan dan penolakan dalil terhadap suatu maslahah, maka para ulama membagi maslahah menjadi tiga macam, yakni:
a) Maslahah Mu’tabaroh
Yaitu kemaslahatan yang diakui oleh syari’ dan terdapat dalil yang menetapkannya. Maslahah ini dapat dijadikan hujjah hukum, tidak diragukan lagi keabsahannya, serta tidak ada perselisihan dalam mengamalkannya. Pengamalan maslahah ini disebut qiyas.
b) Maslahah Mulghoh
Yaitu maslahah yang tidak didukung oleh syar’i, akan tetapi ditolak dan ditentang oleh syar’i. Artinya tatkala nash menghukumi suatu peristiwa karena adanya kemslahatan di dalamnya, kemudian sebagian orang menghukumi peristiwa tersebut dengan merubah ketetapan syar’i karena kemaslahatan yang mereka perkirakan (wahm). Hukum semacam ini ditolak, karena maslahah yang mereka perkirakan tesebut ditentang oleh syar’i. Penetapan suatu hukum tidak dapat didasarkan pada maslahah terebut karena hal itu bertentangn dengan maqashid al-syari’ah. Misalnya persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian warisan dengan alasan maslahah yang mereka perkirakan. Hal itu bertentangan dengan firman Allah dalam surat al-nisa’ ayat 11:
                              •                       •                       •     
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

c) Maslahah Mursalah
Yaitu maslahah yang tidak ditemukan dalil yang mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Suatu peristiwa yang belum terdapat hukumnya di dalam nash, dan tidak ada pula ‘illat yang dapat diqiyaskan dengan nash, akan tetapi terdapat sesuatu yang sesuai dengan nash dalam pensyari’atannya –artinya pensyari’atan hukum tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan/manfaat dan menolak kemadharatan– yang kemudian hal ini oleh para ulama diistilahkan dengan mashalih al-mursalah. Dinamakan maslahah karena mendatangkan manfaat dan kebaikan serta menolak kemadharatan; dan dinamakan mursalah karena tidak terdapat nash (dalil) yang mendukung ataupun menentangnya. Jadi pada hakikatnya maslahah mursalah adalah segala sesuatu yang mendatangkan kemanfaatan yang telah termaktub dalam maqashid al-syari’ akan tetapi tidak didukung oleh adanya dalil.
3. Macam-macam maslahah ditinjau dari materinya
a. Maslahah ammah ;
Maslahah al ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum ini tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat. Misalnya ulama memperbolehkan membunuh penyebar bid'ah yang dapat merusak akidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Maslahah khassah .
Maslahah khashsah adalah kemaslahatan pribadi. Maslahah khashsah ini sering terjadi dalam kehidupan kita seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.
Pembagian kemaslahatan di atas sangat urgen, karena berkaitan dengan prioritas yang harus diambil ketika terjadi benturan antara kemaslahatan umum dan kemaslahatan yang bersifat indivual. Dalam pertentangan keduanya, Islam mendahulukan kemaslahatan umum dari kemaslahatan pribadi.
4. Maslahah Ditinjau dari segi berubah atau tidaknya maslahah ,
Muhammad Mustafa al-Ayalabi membagi maslahah menjadi 2 :
1. Maslahah al stabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat permanin (tetap) dan tidak berubah sampai akhir zaman. Maslahah ini berkait dengan aspek ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji dsb.
2. Maslahah Mutaghayirah, yaitu kemaslahatan yang selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi, kondisi, dan subyek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan erat dengan intraksi sosial ( muamalah ) dan adat kebiasaan.
5. Maslahah dilihat dari segi keberadaan Maslahat itu sendiri, syariat membaginya atas tiga bentuk yaitu:
1. Maslahah muktabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syariat.
Maksudnya, ada dalil khusus yang menjadi bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Dalam kasus peminum khamer misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadis Nabi dipahami secara berlainan oleh para ulama fikh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
2. Maslahah al-mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syariat karena bertolak belakang dengan ketentuan syariat.
Misalnya, syarak menetukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan ramadan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al Bukhari dan Muslim). Terkait dengan kasus ini al Laits Ibnu Sa'ad langsung menetapkan dengan hukuman berupa puasa dua bulan berturut-turut bagi seorang penguasa yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan Ramadlan (al-Hassan: 1997, 428).
Dalam kasus ini, para ulama memandang putusan hukum yang diberikan oleh al-Laits tadi bertentangan dengan Hadits Rasullah di atas, karena bentuk-bentuk hukum itu menurut mereka harus diterapkan secara berurutan. Oleh sebab itu ulama ushul fikh memandang mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut daripada memerdekakan seorang budak dengan dalil kemaslahatan hukum, merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga dengan sendirinya putusan itu menjadi batal. Kemaslahatan semacam ini, menurut kesepakatan mereka disebut Maslahah al Mulghah dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan dalam memproduk hukum.
3. Maslahah yang keberadaannya tidak didukung oleh syarak dan tidak pula ditolak melalui dalil yang detail (rinci).
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
pertama , maslahah al-gharibah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau suatu kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum. Ironisnya, para ulama ushul fikh sendiri tidak dapat mengemukakan contohnya yang pasti. Bahkan Imam as Syatibi menyatakan, kemaslahatan jenis ini tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada secara teori.
Kedua , maslahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh dalil syariat atau nash secara rinci, namun ia mendapat dukungan kuat dari makna implisit sejumlah nash yang ada.
E. Lapangan istihlah dan kehujjahanya
Istihlah tidak berlaku dalam bidang ibadah, karean dalam hukum-hukum ibadah adalah ta’abudi, adapun selain dalam bidang ibadah dan selain ketentuan-ketentuan yang qat’i yang ditetapkan dalam bidang muamalah, dalam bidang ta’zir , pembuktian perkara-perkara yang lain, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini Imam Malik dan Ahmad berpendapat bahwa istihlah adalah salah satu jalan menetapkan hukum yang tak ad nash da tak ada pula ijma’ terhadapnya. Menurut mereka Maslahah Mursalah yang tidak ditunjuki oleh Syara’ dan tidak pula dibatalkan dapat dijadikan dasar istimbat
Jumhur ulama mengangap Maslahah Mursalah sebagai hujjah syari’ah , sekalipun dengan nama yang berbeda-beda. Adapun alasan pengunaan Istihlah sebagai dasar syar’i diantaranya
1. Kemaslahatan yang diharapokan manuia itu tumbuh dan bertambah. Sekiranya hukum tidak menampung untuk menetapkan kemaslahatna manusia yang dapat diterima, berarti kurang sempurna syari’at itu , atau bekuilah syari’at itu . padahal nyatalah tidak demikian
2. Kalau diamati benar-benar, para shahabat dan tabi’in serta para imam mujtahid, mereka telah menetapkan hukum-hukum berdasarkan kemaslahaan, seperti abu Bakar memerintahkn untuk menyususn Mushaf yang sebelumya terumpul.
Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa maslahah muktabarah dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Sedang maslahah al Mulghah dan maslahah al gharibah dianggap tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum Islam.
Pada prinsipnya, semua ulama madzhab menerima maslahah al-mursalah sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syariat sekalipun mereka berbeda pendapat dalam peristilahan, menentukan syarat, penerapan, dan penempatannya.
Menolak kemudlaratan, merupakan tujuan syarak yang wajib dilakukan. Ia termasuk dalam konsep maslahah muarsalah. Atas dasar itulah ulama hanafiyah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, dengan syarat bahwa kemaslahatan tersebut terdapat dan didukung oleh nash dan ijma' . Penerapan konsep maslahah mursalah di kalangan hanafiyah terlihat sangat luas dalam metode Istihsan.
Maslahah ini yang menyebabkan Saydina Abu Bakar Ra mengumpulkan lembaran-lembaran al Quran yang berserakan sehingga—dalam perkembangannya—menjadi satu mushaf. Sebelumnya, kodifikasi ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan dasar maslahah pula Saydina Umar Ra membentuk kota-kota administrasi, membangun penjara, dsb.
Selain hanafiyah, madzhab Maliki dan Hambali adalah madzhab yang menerima maslahah mursalah sebagai landasan hukum, bahkan kedua madzhab ini dianggap sebagai ulama fikh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Menurut mereka maslahah mursalah adalah hasil induksi dari logika sekumpulan nash, akan tetapi bukan dari nash-nash yang rinci sebagaimana dalam Qiyas.
Alasan-alasan yang digunakan jumhurul ulama untuk menjadikan maslahah sebagai pijakan hukum, antara lain :
1. Kesimpulan mereka atas sejumlah ayat dan hadist yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia sebagaimana disinyalir firman Allah “dan tidaklah kami mengutus mu (Muhammad) melainkan sebagai Rahmat bagi semesta alam
Menurut mereka, Rasulullah SAW tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum.
3. Apabila syariat Islam hanya dibatasi pada hukum-hukum yang sudah ada saja, padahal problematika dan kemaslahatan selalu muncul dan berkembang, maka akan membawa kesulitan bagi umat manusia.
4. Penggunaan maslahah mursalah ini juga didasarkan pada beberapa atsarus sahabah .
Kereteria Maslahah dan Pandangan-pandangan Ulama tentangnya
Untuk menjadi pijakan hukum, ulama menetapkan beberapa kereteria yang harus dipenuhi. Beberapa syarat maslahah tersebut adalah :
1. Kemaslahatan sejalan dengan maksud syariat.
2. Kemaslahatan itu harus bersifat rasional, bukan sekadar perkiraan ( Zaidan:1996, 242)
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Madzhab Syafii pada dasarnya juga menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil syariat. Akan tetapi beliau lebih cenderung memasukkannya ke dalam bagian Qiyas. Misalnya, beliau mengqiyaskan hukuman bagi peminum arak pada hukuman orang yang menuduh orang berzina, yaitu berupa dera sebanyak 80 kali, karena orang yang mabuk diduga kuat akan menuduh orang lain berbuat zina.
Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan hukum yang dilahirkan dari qaul jadid Imam Syafi'i di Mesir didasarkan pada adat penduduknya. Ini tidak lain hanyalah untuk kemaslahatan penduduknya.
Al-Ghazali juga membahas maslahah mursalah dalam kitab al-mustasfâ . Menurutnya, syarat untuk menjadikan maslahah mursalah sebagai argumen untuk mengambil hukum sama dengan tiga point di atas walaupun sedikit berbeda pada point kedua dan ketiga, yatiu:
(1) Maslahah itu sejalan dengan syariat;
(2) maslahah itu tidak bertentangan dengan nash syariat;
(3) maslahah tersebut masuk dalam kategori maslahah dlaruriyah (kebutuhan yang sangat mendesak), baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kepentingan orang banyak. Untuk yang terahir ini, al-Ghazali mengatakan bahwa hajiyah (kebutuhan biasa), apabila menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadi dlaruriyah .
Selanjutnya beliau menambahkan, jika yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah adalah untuk mewujudkan moralitas unversal syariat maka dalil ini tidak perlu diperselisihkan lagi dan harus diikuti. Namun, jika terjadi pertentangan antara dua maslahah, maka harus dilakukan tarjih
Senada dengan itu Al-Qurtubi menyatakan bahwa dengan adanya batasan-batasan itu maka dalil ini tidak seharusnya diperselihkan eksistensinya. Walaupun para ulama fikih mengemukakan syarat-syarat yang sangat ketat dalam menggunakan maslahah sebagai pijakan hukum, namun pada kenyataannya, para sahabat yang memenuhi semua syarat tersebut.
Mereka hanya menjaga kemaslahatan meskipun sifatnya hanya parsial, teka-teki, atau dzanni (praduga). Hal ini pernah dilakukan oleh Saydina Umar Ra ketika menghukumi talak terhadap seorang wanita yang suaminya hilang selama empat tahun. Keputusan Saydina Umar Ra ini adalah untuk melindungi kemaslahatan si istri tersebut dan menghindarkannya dari bahaya meskipun tidak ada kejelasan mengenai kematian sang suami Pendapat Saydina Umar Ra di atas disepakati oleh saydina Utsman Ra, Saydina Ali Ra, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan sejumlah tabi'in
Keputusan seperti ini juga banyak diambil oleh para sahabat pada kasus-kasus yang berbeda . Oleh karenanya, Imam al Syatibi dalam memberlakukan maslahah mursalah tidak menetapkan syarat sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, khususnya poin pertama dan kedua. Hanya saja beliau memberikan tiga hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan dalil maslahah , yaitu :
(1) bersifat logis, dan bukan masalah ta'abbudi (ibadah) karena hal-hal yang bersifat ta'abbudi adalah sesuatu yang harus diterima;
(2) berhubungan dengan tujuan syariat secara global dengan tidak menghilangkan hukum dari asalnya, serta tidak ada dalil yang menunjukkan secara qath'i ;
(3) penggunaan dalil tersebut untuk menjaga sesuatu yang mendesak ( dharuri ) atau menghilangkan kesulitan dalam agama (al-Qaradhawi: 2002, 77).
Dasar penggunaan dalil maslahah untuk menghilangkan kesulitan adalah untuk meringankan dan mempermudah. Oleh karena itu, tidak harus memenuhi beberapa syarat yang dikemukakan olah al-Ghazali. Sebab, kemaslahatan adakalanya bersifat mendesak. Tidak menjadi keharusan pula bahwa sesuatu yang menyeluruh itu meliputi kepentingan umum. Sedangkan memelihara maslahat pribadi dan kelompok-kelompok yang berbeda diakui oleh syariat. Maslahah yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum itu tidak harus berupa dalil qat'i (pasti). Dzan yang rajih pun dibenarkan dalam hukum derivasi.
Tokoh lain yang berbicara tentang maslahah ini adalah Najm al Din al-Thufi. Dia memandang bahwa inti ajaran Islam yang terkandung dalam nash adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemaslahatan disyariatkan. Kemaslahatan tidak perlu mendapat dukungan dari nash , baik literal atau tersirat.. Menurutnya, maslahah merupakan dalil kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syariat.
Pandangan al-Thufi ini tentu bertentangan dengan paham yang dianut oleh mayoritas ulama ushul fikih di zamannya yang memandang bahwa maslahah harus didukung syariat, baik literal atau tersirat. Karena pandangan ini juga, al-Thufi termarginalkan dari forum-forum ulama ushul fikih di zamannya. Akan tetapi, pemikirannya tentang maslahah ini kemudian banyak dikaji oleh ulama ushul sesudahnya, terutama oleh pemikir kontemporer.
Alasan al Thufi dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah sebagai berikut :
(1) akal bebas menentukan maslahah dan mafsadah;
(2) maslahah hanya berlaku dalam mu'amalah dan adat, sedangkan ibadah merupakan hak Allah semata;
(3) maslahah adalah dalil yang mandiri dalam menetapkan hukum syariat, tidak butuh dukungan nash. Oleh karenanya, jika terjadi pertentangan dengan nash maka maslahah harus dimenangkan dengan cara men takhsish nash dan bayan .
Walupun secara sepintas orang akan mengklaim pandangan al Thufi ini sangat radikal, namun menurut penulis, pandangan al-Thufi sebenarnya tidak jauh berbeda al-Ghazali atau al-Syatibi. Hal itu karena pandangan al Thufi mengenai maslahah ini lebih menekankan pada sejumlah kasus yang bersifat dharurah . Sehingga menurut beliau, ketika maslahah berseberangan dengan nash maka yang dimenangkan adalah maslahah.
II. URF’
A. Pengertian
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu” yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan. Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
B. Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Tabel 1. Tabel perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
URf’U ’Adah
Adat memiliki makna yang lebih sempit Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid Adat tanpa melihat apakah baik atau buruk
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Adat mencakup kebiasaan pribadi
Adat juga muncul dari sebab alami
Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak
C. Dalil Kaidah
Lafadl al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah:
Dalil al-Qur’an, Firman Allah Ta’ala :
       

(QS Al-Araaf[7]:199). Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Juga firman-Nya:
        •         
(QS.Al-Baqarah[2]: 180). diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf

Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat. Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan kebiasaan manusia yang berlaku.
Dalil dari as-Sunnah:
Dalam salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Qawaid Fiqhiyah Yang Berkaitan
Berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah disebutkan:
“Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas) dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja sama, yaitu dengan kaidah:
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1. ‘Urf ‘am (umum). Yaitu ‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini. Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2. ‘Urf khosh (khusus). Yaitu sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Contoh: Di sebuah daerah tertentu, ada seseorang menyuruh seorang makelar untuk menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku di daerah tersebut bahwa nanti kalau tanah laku terjual, makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah yang ditanggung bendua antara penjual dengan pembeli; maka inilah yang berlaku, tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalau ada perjanjian sebelumnya.
Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan objeknya, yaitu:
1. ‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama dengan makna tertentu, bukan makna lainnya. ‘Urf ini kalau berlaku umum di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.

Misalnya:
a. Ada seseorang berkata: “Demi Alloh, saya hari ini tidak akan makan daging.” Ternyata kemudian dia maka ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar sumpah, karena kata ”daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak dimaksudkan kecuali untuk daging binatang darat seperti kambing, sapi, dan lainnya.
b. Ada seorang penjual berkata: “Saya jual kitab ini seharga lima puluh ribu.” Maka yang dimaksud adalah lima puluh ribu rupiah, bukan dolar ataupun riyal.
1. ‘Urf Amali (perbuatan). Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyanakat tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf lafzhy.
Misalnya:Dalam masyarakat tertentu ada ’urf orang bekerja dalam sepekan mendapat libur satu hari, pada hari Jum’at. Lalu kalau seorang yang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga toko dan kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp.500.000, maka pekerja tersebut berhak berlibur setiap hari Jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.

Klasifikasi ‘Urf ditinjau berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1. ‘Urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Misalnya:seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2. ‘Urf bathil ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
Misalnya:Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
D. SYARAT-SYARAT ‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
2. Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena dalil tersebut.
Misalnya:‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk istrinya. ‘Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan, karena Alloh Azza wa Jalla berfirman:
                                    

(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.


3. Urf itu sudah berlaku sejak lama, bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi.
Misalnya: Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima tahun kemudian ‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak didasarkan pada ‘urf yang muncul belakangan.
4. Tidak berbenturan dengan tashrih. Jika sebuah ‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
MisalnyaKalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
5. ‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma) maka ’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila ’urf nya bertentangan dengan dalil syar’i.
III. ISTISHHAB
A. pengertian
Secara harfiah istishhab berarti mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama Ushul Istishhab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat dalil dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hokum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.
B. Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas. Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:
    •                

“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia, dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:
       •          ••        •           •    

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan padaku sesuatu yang diharamkan kepada seseorang yang memakannya kecuali jika ia berupa bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang tidak disebutkan di dalamnya tidak diharamkan karena tidak adanya dalil yang menunjukkan itu, dan itu semuanya karena hukum asalnya adalah mubah.

Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan Mu’tazilah Baghdad.
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.

Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan pada hadits:
لا ضَرَرَ وَلا ضِرَارَ
“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).

2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.
3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan.
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.

C. Kehujjahan Istishhab
Istishhab adalah akhir dari dalil syara’ yang dujadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu hal yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata : “sesungguhnya istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa” yaitu mengetahui suatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya.
Itishhab telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat. Seperti: Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula ehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya.
Sebagaimana kaidah “Asal segala sesuatu adalah kebolehan”.
Pendapat yang dianggap benar adalah, Istishhab bias dijadikan dalil hukumkarena pada hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istihhab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
D. Pengaruh Istishhab dalam Persoalan-persoalan Furu’iyah
Bila ditelusuri lebih jauh ke dalam pembahasan dan kajian Fiqih Islam, maka kita akan menemukan banyak sekali persoalan-persoalan yang dibahas oleh para fuqaha yang kemudian menjadikan istishhab sebagai salah satu pijakan atau landasan mereka dalam memegangi satu madzhab atau pendapat.
Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan furu’iyah yang termasuk dalam kategori tersebut:
1. Pewarisan Orang yang Hilang (al-Mafqud)
Orang yang hilang (al-mafqud) adalah orang yang menghilang dari keluarganya hingga beberapa waktu lamanya, dimana tidak ada bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan apakah ia masih hidup atau sudah mati.
Dalam kasus ini, para ulama berbeda pendapat antara memvonis ia masih hidup sehingga peninggalannya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya dan ia tetap berhak mendapatkan warisan jika ada kerabatnya yang meninggal saat kehilangannya; dan memvonis ia telah meninggal sehingga peninggalannya dapat dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hal ini, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:
Pendapat pertama, bahwa ia tetap dianggap hidup –baik untuk urusan yang terkait dengan dirinya maupun yang terkait dengan orang lain-. Karena itu semua hukum yang berlaku untuk orang yang masih hidup tetap diberlakukan padanya; hartanya tidak diwariskan, istrinya tidak boleh dinikahi, dan wadi’ah yang ia titipkan pada orang lain tidak boleh diambil. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah bahwa orang yang hilang itu sebelum ia hilang ia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Karena itu hukum ini wajib diistishhabkan hingga sekarang sampai ada bukti yang mengubah hukum tersebut.
Pendapat kedua, ia dianggap hidup terkait dengan hak dirinya sendiri. Pendapat ini dilandaskan pada pandangan bahwa istishhab hanya dapat digunakan untuk mendukung hukum yang telah ada sebelumnya, tapi bukan untuk menetapkan hukum baru.
Pendapat ketiga, ia dianggap hidup baik terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain selama 4 tahun sejak hilangnya. Jika 4 tahun telah berlalu, maka ia dianggap telah meninggal terkait dengan hak dirinya maupun hak orang lain; hartanya dibagi, ia tidak lagi mewarisi dari kerabatnya yang meninggal dan istrinya dapat dinikahi. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Alasan pembatasan jangka waktu 4 tahun adalah pengqiyasan kepada jika ia meninggalkan istrinya selama 4 tahun, dimana –menurut pendapat ini- jika ia meninggalkan istrinya selama itu, maka hakim dapat memisahkan keduanya dan istrinya dapat dinikahi setelah masa iddah sejak pemisahan itu berakhir.

2. Berwudhu Karena Apa yang Keluar Dari Selain “2 Jalan”
Semua ulama telah berijma’ bahwa segala sesuatu yang keluar melalui “2 jalan” (qubul dan dubur) itu membatalkan thaharah seseorang. Namun bagaimana dengan najis yang keluar tidak melalui kedua jalan tersebut? Apakah ia juga membatalkan thaharah seseorang atau tidak?
Dalam kasus ini, ada beberapa pendapat yang dipegangi oleh para ulama:
Pendapat pertama, bahwa hal itu membatalkan thaharahnya, sedikit ataupun banyaknya yang keluar. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Malik dan al-Syafi’i.
Hujjah mereka adalah istishhab, yaitu bahwa hukum asalnya hal itu tidak membatalkan, maka ia tetap diberlakukan hingga ada dalil yang menunjukkan selain itu.
Pendapat kedua, bahwa apapun yang keluar dari selain kedua jalan itu, seperti muntah jika telah memenuhi mulut, maka ia membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Pijakannya adalah beberapa hadits seperti:
“Wudhu’ itu wajib untuk setiap darah yang mengalir.” (HR. Al-Daraquthni)
dan juga hadits:
“Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan ingus dalam shalatnya, maka hendaklah ia pergi dan berwudhu lalu melanjutkan shalatnya selama ia belum berbicara.” (HR. Ibnu Majah)
Hanya saja hadits-hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama, sehingga mereka tidak dapat menjadikannya sebagai dalil.
Pendapat ketiga, bahwa apa yang keluar dari selain kedua jalan tersebut membatalkan wudhu jika ia sesuatu yang najis dan banyak, seperti muntah atau darah yang banyak. Adapun jika ia sesuatu yang suci, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Hujjah pendapat ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’dan bin Thalhah dari Abu al-Darda’ r.a., bahwa Nabi saw pernah muntah, lalu beliau berwudhu. Ma’dan berkata: “Aku pun menemui Tsauban di Masjid Damaskus lalu menyebutkan hal itu padanya. Maka ia pun berkata: ‘Engkau benar! Aku-lah yang menuangkan air wudhu beliau.” (HR. Al-Tirmidzy)
Landasan lainnya adalah pengamalan para shahabat Nabi akan hal itu, dan tidak ada satu pun yang mengingkari hal tersebut, maka dengan demikian ini adalah ijma’ dari mereka akan hal itu.
3. Thalaq Setelah Terjadinya Ila’
Salah satu masalah furu’iyah yang terkait dengan istishhab adalah jika seorang seorang suami bersumpah untuk tidak mendekati istrinya (ila’), apakah thalaq yang terjadi setelah ila’ ini termasuk thalaq yang raj’i atau ba’in?
Para fuqaha berbeda pendapat menjadi 3 pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama, bahwa thalaq yang terjadi adalah thalaq raj’i, baik thalaq dijatuhkan oleh sang suami ataupun oleh sang hakim. Pendapat ini dipegangi Imama Malik dan al-Syafi’i.
Landasan mereka dalam hal ini adalah bahwa hukum asalnya thalaq itu jika dijatuhkan pada sang istri yang telah digauli, dan bukan dalam khulu’ atau thalaq tiga, maka ia adalah thalaq raj’i yang memungkinkan rujuk kembali. Dan kita tidak boleh meninggalkan hukum asal ini kecuali dengan dalil, sementara dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan itu.
Pendapat kedua, jika yang menjatuhkan thalaq adalah suami maka yang jatuh adalah thalaq raj’i, namun jika yang menjatuhkannya adalah hakim maka thalaqnya adalah ba’in. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Dan mungkin yang menjadi landasan mereka adalah bahwa jika penjatuhan thalaq itu dilakukan oleh sang hakim, maka ini seperti jika hakim memutuskan suatu masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, dimana pendapat manapun yang dipilih oleh hakim maka itulah yang berlaku.
Pendapat ketiga, bahwa thalaq yang terjadi karena ila’ adalah menjadi thalaq ba’in secara mutlak. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Abu Hanifah.
Landasan mereka adalah karena penjatuhan thalaq itu bertujuan untuk melepaskan sang wanita dari kemudharatan, dan itu tidak dapat terwujud hanya dengan menjatuhkan thalaq raj’i saja. Pendapat ini juga dilandasi oleh apa yang diriwayatkan dari sebagian sahabat bahwa mereka berkata: “Jika telah berlalu 4 bulan (sejak terjadinya ila’), maka sang istri tertalak dan ia lebih berhak atas dirinya sendiri.” Dalam riwayat lain: “Dan ia terthalak secara ba’in
Demikianlah beberapa masalah furu’iyah yang dapat diangkat di sini untuk menunjukkan bagaimana pengaruh istishhab dalam perbedaan ijtihad para fuqaha.

Contoh kasus kaidah Istishhab yang lain:
a) Orang yang mendakwa istri yang dinikahinya dan telah dicampurinya tidak perawan (sebelumnya) maka dakwaannya tidak dipercaya, kecuali dengan bukti yang nyata. Yang menjadi asal pada wanita adalah kegadisannya, ini fixed sejak lahir.
b) Seseorang yang mendakwa bahwa dia mempunyai piutang terhadap orang lain, maka dakwaan tersebut tidak bisa diterima kecuali dengan bukti. Perkataan yang diterima adalah perkataan terdakwa memberlakukan perkataan sebelumnya.
c) Apabila seseorang membeli anjing dengan asumsi bahwa anjing tersebut adalah anjing yang terdidik, kemudian dia mendakwa bahwa anjing tersebut tidak terdidik, maka dakwaannya bisa diterima dengan memberlakukan keadaan sebelumnya. Sebab yang menjadi asal pada binatang adalah tidak terdidik.
d) Apabila orang bertayammum, kemudian di tengah shalatnya ia melihat air, maka shalatnya tidak batal dengan memberlakukan keadaan sebelumnya (istishhaban lil hal). Sebab sebelumya telah diputuskan keshahihanya.
E. Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah meneetapkan baha istihhab merupakan hujjah yang mempertahankan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Tetap dijelaskan tentang penetapan orang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya atau tempat kematiaannya, orang tersebut ditetapkan tidak hilang atau dihukumi orang yang hidup sampai ada petunjuk yang menunjukan kematiaannya.
Istishhab-lah yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah yang menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab adalah hidup yang didasarkan atas pengakuan.
IV. DZARI’AH
A. Pengertian Dzariah
Menurut Lughah Dzari’ah berarti jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian Dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi sebagian ulama ushul lainnya menentang pendapat tersebut. Di antaranya: Ibnu Qayyim Aj-Jauziah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Dengan demikian lebih tepat Dzari’ah itu dibedakan menjadi dua yaitu Sadd Adz-Dzari’ah (dzari’ah yang dilarang) dan Fath Adz-Dzari’ah (Dzari’ah yang dianjurkan).
1. Sadd Adz-Dzari’ah
Menurut Imam Asy Syatibi Sadd Adz-Dzari’ah adalah “melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengadung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan”.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad Adz-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengadung kemashlahatan tetapi pada akhirnya berakhir pada suatu kerusakan.
Menurut imam Asy-Syatibi ada criteria yang menyebabkan perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinya boleh itu ternyata mengandung kerusakan.
b. Mudharatnya lebih kuat dari manfaatnya.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengadung lebih banyak unsure kemafsadatan.
2. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziah dan Imam Al-Qarafi mengatakan baha Dzariah itu adakalanya dilarang dan adakalnya dianjurkan bahkan diwajibkan.
Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksankan shalat ju’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Aj-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak termasuk kepada Dzariah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah dari suatu pekerjaan
Hal ini sesuai dengan kaidah “Apabila sesuatu perbuatan yang wajib bergantung pada sesuatu yang lain, sesuatu yang lain itupun wajib”
Begitu pula segala sesuatu yang menuju pada sesuatu yang haram, maka sesuatu itupun juga haram.
Misalnya: seorang laki-laki haram berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim atau melihat auratnya. Karena hal itu akan membaa kepada perbuatan yang haram yaitu zina.
B. Macam-macam Dzari’ah
1) Dzari’ah dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Menurut imam asy-Syatibi, dari segi ini dzariah terbagi atas:
a) Perbuatan yang dilakukan itu membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lain pada malam hari, yang menyebabkan pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut.
b) Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan. Misalnya menjual senjata pada musuh yang memungkinkan kan digunakan untuk membunuh.
d) Perbuatan yang pada dsarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan tetapi terjadi kemafsadtan. Misalnya Baiy al-ajal (jual beli yang lebih tinggi dari harga sebenarnya karena tidak kontan).
2) Dzari’ah dilihat dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah , dari segi ini Dzari’ah dibedakan atas:
a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang menyrbabkan mabuk, sedang mabuk adalah suatu perbuatan yang mafsadat
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja ataupun tidak. Misalnya seorang laki-laki menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan agar mantan suaminyi bisa rujuk lagi kepada perempuan tersebut.
Masih menurut Ibnu Qayyim, kedua bagian tersebut dibagi atas:
Kemaslahatan suatu perbuatan lebih besar dari mafsadatnya.
a. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat dari maslahatnya.
Lebih lanjut ia membagi kedua pembagian tersebut atas:
• Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat
• Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan tapi dijadikan jalan untuk melakukan perbuatan yang haram.
• Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya kemafsadatan, seperti mencaci sesembahan orang non muslim sehingga berakibat mereka mencaci maki Allah.
• Suatu pekerjaan yang pada dasarnya boleh, tetapi ada kalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dilamar.
C. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Tujuan asal dari sadd adz-dzarâi’ adalah untuk menciptakan suatu maslahat dan menghindari mafsadat. Ia ibarat penguat bagi maslahah mursalah yang diterapkan secara khusus sebagai mashâdir tasyrî’i oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal. Maka tidak heran jika madzhab yang menjadikan sadd adz-dzarâi’ sebagai salah satu mashâdir tasyrî’i adalah madzhab Malikiyah dan Hanbaliyah. Hanya saja Imam Malik lebih banyak menggunakannya dari pada Imam Ahmad. Bahkan Ibnu al-Qayyim mengatakan bahwa sadd adz dzarâi’ adalah rub’u ad-dîn. Sementara Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan golongan Syi’ah menyepakatinya dalam beberapa masalah saja. Adapun Ibnu Hazm adz Dzhâhiri mengingkarinya secara mutlak. Di antara bukti yang menjelaskan bahwa Imam Syafi’i mengambil sadd adz dzara’i sebagai salah satu dalil dapat kita lihat dalam kitab al-Umm. Salah satunya dijelaskan bahwa beliau terkadang meninggalkan udlhiyyah (ibadah kurban), untuk menghindari anggapan bahwa hal tersebut hukumnya wajib.
Landasan (Alasan) yang menerima sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
1. Naqli
• Al-Quran
              •  •          
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”. (QS. Al-An’âm :108)
      •            
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad) “râ’ina”, tetapi katakanlah “unzhurnâ”, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih” (QS. Al-Baqarah:104).
• Sunah
Rasulullah Saw. melarang membunuh orang munafik, padahal jika dilakukan tentu ada unsur mashlahat, namun unsur mashlahat tersebut dikalahkan oleh unsur mafsadat yang akan timbul. Yaitu akan mengakibatkan perginya kaum dari agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah Saw. telah membunuh sahabatnya. Lebih dari itu ia akan berimplikasi kepada phobinya orang-orang yang belum masuk Islam.
Rasulullah Saw. melarang kepada orang yang dihutangi untuk menerima hadiah dari yang berhutang padanya. Khawatir hal tersebut mendekati riba.

Rasulullah Saw. bersabda: “Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal yang tidak kamu ragukan”(d’a mâ yurîbuka ilâ mâ lâ yurîbuka”)

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara dosa besar itu adalah seseorang melaknat orang tuanya. Para sahabat bertanya, wahai Rasulullah bagaimana seseorang melaknat orang tuanya sendiri? Rasulullah menjawab: seseorang yang mencela orang tua saudaranya, maka orang tersebut akan membalasnya dengan mencela kembali orang tua pencela tersebut”.
• Fatwa Sahabat
Para sahabat menetapkan bahwa wanita yang ditalak oleh suaminya yang sakit yang menyebabkan kematian (fî maradl al maut), mereka tetap mendapatkan warisan. Karena dikhawatirkan penthalakan tersebut bertujuan agar si istri tidak mendapatkan warisan (hirmân al-irtsi). Meski dalam kenyataannya si suami tersebut tidak berniat demikian.

Para sahabat bersepakat untuk mengqishash para pelaku pembunuhan dengan keroyokan, walaupun yang di bunuh hanya satu orang (qatlu aljamâ’ah bi al wâhid. Pada dasarnya hal ini tidak sesuai dengan aturan qishash, namun ditetapkannya hal tersebut sebagai sadd adz dzarî’ah (agar tidak menimbulkan pertumpahan darah).
2. Kaidah Fikih
Dar`ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al mashâlih.
3. Aqli
Secara logika, ketika seseorang membolehkan sesuatu, maka otomatis ia akan membolehkan juga segala perantara yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab i’lâm al mûqi’în: ”Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah akan mengharamkan segala perantaranya. Jika membolehkanya, tentu hal ini bertolak belakang dengan tetapnya keharaman tersebut…”
Landasan (alasan) yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa di antara yang tidak menghukumi sadd adz dzarâi’ sebagai dalil adalah Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm. Maka dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa argumen dari keduanya.
 Mauqif Imam Syafi’i terhadap sadd adz dzarâi’
Beliau berpendapat bahwa ketetapan hukum itu berdasarkan sesuatu yang bersifat dzahir, bukan berdasarkan sesuatu yang maknawi atau yang sifatnya dzhanni. Dalam suatu ayat Allah swt. berfirman yang ditujukan kepada Rasulullah Saw:
        •         
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”(QS. Al-Isra:36).
Beliau berpendapat bahwa suatu hukum tidak batal dengan sesuatu yang belum jelas. Beliau mencontohkan dengan orang yang membeli pedang dengan tujuan mempergunakannya untuk membunuh. Maka hukum jual beli tersebut sah, tapi niatnya yang tidak boleh. Niat tersebut tidak membatalkan jual beli. Bahkan jual beli tersebut tetap sah, ketika ternyata si pembeli tadi benar-benar menggunakannya untuk membunuh.
Selain itu juga, imam Syafi’i tidak menjadikan produk ijtihad sebagai sumber dalil kecuali qiyâs.
-Penolakan Ibnu Hazm terhadap penetapan sadd adz dzarâi’ sebagai dalil, karena sadd adz dzarâi’ itu sendiri adalah salah satu produk hukum yang melibatkan akal (bâb min abwâb al ijtihâd ar ra`yi). Sementara Ibnu Hazm adalah ‘aduwu ar ra`yi. Kemudian Ibnu Hazm juga sepakat dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa halal dan haramnya sesuatu tidak bisa ditetapkan oleh sesuatu yang bersifat dzhanny.
D. Pengaruh sadd adz Dzarâi’ terhadap Ikhtilaf para Fuqaha
Ketika terjadi perbedaan pendapat mengenai keabsahan sadd adz dzara’i sebagai dalil, maka ketika itu juga para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum yang berkaitan dengan permasalahan fur’u dalam fiqih. Banyak sekali masâil fiqhiyah mengenai hal ini. Akan tetapi, penulis hanya akan memberikan dua contoh saja.
 Hukum membayarkan zakat bagi mayit yang belum menunaikan zakat
1. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika si mayit berwasiat untuk membayarkannya, maka ahli waris harus membayarkannya sepertiga dari tirkah, seperti halnya wasiat. Namun jika si mayit tidak berwasiat, maka ahli waris tidak berkewajiban untuk membayarnya. Adapun alasan imam Malik adalah sadd adzarî’ah. Karena jika ahli waris wajib membayarkannya, dikhawatirkan semua orang akan menangguhkan zakatnya sampai akhir hayatnya. Tentu hal ini merupakan dlarar bagi ahli waris. Sementra Imam Abu Hanifah berhujjah bahwa zakat adalah ibadah yang mensyaratkan adanya niat, maka hal tersebut gugur dengan kematian orang yang bersangkutan.
2. Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa zakat tersebut harus dibayarkan oleh ahli waris dari harta yang ditinggalkan si mayit (tirkah). Baik si mayit mewasiatkan ataupun tidak. Hujjah Imam Syafi’i dan Ahmad adalah mengkiaskan zakat dengan hutang dan ibadah haji. Tidak gugur dengan matinya orang yang bersangkutan dan dibayarkan dari seluruh tirkahnya (bukan sepertiganya). Kemudian juga karena berpegang pada dalil “fadainuLlah ahaqqu an yuqdlâ”
 Hukum nikah orang sakit (sakit yang menimbulkan kematian)
1. Imam Malik berpendapat bahwa nikahnya tidak sah.
Alasan Imam Malik adalah sadd adz dzarâi’. Karena dengan menikah, berarti ahli waris akan bertambah. Hal ini diperkirakan akan menimbulkan kemadaratan bagi ahli waris yang lain. Sebab tidak menutup kemungkinan ada ahli waris yang termahjub dengan hadirnya ahli waris yang baru. Sementara Ibnu Rusyd berpendapat bahwa tidak sahnya nikah orang yang sakit adalah salah satu dari maslahah mursalah.
2. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikahnya sah, dengan syarat maharnya adalah mahar mitsli. Dan tidak sah nikahnya kalau lebih dari mahar mitsli. Dalam kitab al mughni, Ibnu Qudamah berkata:”jika seorang laki-laki yang sakit menikahi seorang perempuan yang mahar mitslinya lima, namun ia memberinya mahar sepuluh, sementara ia tidak memiliki harta selain harta yang dijadikan mahar itu. Kemudian laki-laki tersebut mati, maka selebihnya dari mahar mitsli yang telah diberikan, tidak berhak dimiliki oleh istri tersebut, karena hal ini menyerupai wasiat, dan ahli waris tidak berhak menerima harta wasiat.”(lâ washiyata liwâritsin).
Adapun hujjah yang menyatakan bahwa nikahnya sah, adalah :
 dikiaskan dengan jual beli. Karena keduanya sama-sama aqdun mu’âwadlah.
 dikiaskan dengan hukum nikah ketika dalam kondisi sehat.
3. Imam syafi’i menguatkannya dengan beristidlal kepada perbuatan sahabat. Yaitu permohonan Mu’adz din Jabal ketika beliau sakit yang mengantarkannya pada kematian. Saat itu Mu’adz berkata:”nikahkanlah aku, agar ketika aku berjumpa dengan Allah swt. tidak dalam keadaan membujang”.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf, Masadir al-Tasyri’ al-Islami fi ma la Nassa fihi sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim al-Khatib dalam bukunya, Ijtihad Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005.),
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, al dar Al Kawaetiyah, Mesir, 1968
Drs. Zarkasi Abdul Salam, Drs. Oman Faturrohman SW, Pengantar Ushul Fuqh 1. LESFI, Yogyakarta
Al-A’jam, Rafiq. 1983. Ushul Islamiyah Manhajuha wa Ab’aduha. Beirut: Dar al-Ilmi.
Al-Bugha, Musthafa Dib. Atsar al-Adillah al-Mukhtalafah fiha fi al-Fiqh al-Islamy. Damaskus: Dar el-Qalam, 1420 H/1999M, cet. III
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min al-‘Ilmi al-Ushul (Beirut: al-Resalah, 1997).
Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002)
Al-Jawaziyah, Ibnu Qayyim. TT. I’lam al-Muwaqi’in. Beirut: Dal al-Jil.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Nadawi, Ali Ahmad. 1986. Al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Damaskus: Dar al-Qalam.
Al-Qarrafi, Syaihabuddin Ahmad ibd Idris. TT. al-Furuq fi Anwa’il Buruq. Beirut: ‘Alam al-Kutb.
Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah. tt.), vol. 1,
Al-Yamani, Abu Bakar al-Ahdal. TT. al-Fara’id al-Bahiyyah. Semarang: al-Munawar.
Al-Zarqa’, Ahmad bin Muhammad. 1988. Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Beirut: al-Qalam.
Al-Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir, 1424 H/2004 M, vol. 2, cet. II
Bisri, M. Adib. 1977. Risalah Qawa’id Fiqh. Kudus: Menara Kudus.
Djazuli, Prof. H. A, Ilmu Fiqh, Pengalian, perkembangan, penerapan hukum Islam, Prenada Media, Jakarta, 2005
Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad al’Arabi.
Haidar, Ali. TT. Darru al-Hukkam Syarhu Majallah al-Ahkam. Beirut: Maktabah al-Nahdhah.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/8/1/pustaka-129.html
Husaini, S. Waqar Ahmad. 1983. Sistem Pembinaan Masyarakat Islam (Terj.). Bandung: Pustaka.
Ibnu Nujaim, Zainal Abidin bin Ibrahim bin Nujaim. 1985. al-Asybah wa al-Naqza’ir. Beirut: Dar al Kutb al-Alamiah.
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398 H/1978 M, cet. XII
Madjid, Nurcholish. 1995. “Pergeseran Pengertian Sunnah ke Hadis: Implikasinya dalam Pengembangan Syari’ah”, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.
Muhamad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Terj.) Saefullah Ma’sum (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2005)
Muhsin, Abdullah bin Abdul. 1980. Ushul al-Madzahib al-Imam Ahmad. TTP: TP.
Musthofa Dib al-Bugho, Ushul al-Tasyri’ al-Islamiy: Atsar al-Adillah al-Mukhtalif Fiha (Beirut: Dar al-Qalam. 1993)
Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr.
Sabiq, Ahmad bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Majalah Al Furqon Edisi Khusus, Romadhon/Syawal 1427 (Okt/Nov ‘06)
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqhi al Islamiyyi (Suria: Dar al-Fikr, 1986), vol. 2, cet. 1

tafsier usaha manusia

BABI
PENDAHULUAN
Al Quran adalah mu’jizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang tak seorang juapun mampu untuk membuat seindah dan sesempurna Al Quran.
Kandungan Al Quran menjelaskan banyak Hal, mulai tentang penciptaan Alam Semesta, Tanda-tanda Kekuasaan Allah, Ibadah, Keimanan dan juga Usaha dan ikhtiar Manusia dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itu umat islam harus berusaha mempelajari dan memahami Al Quran, memahami kandungan dan tuntunan Al Quran yang menjadi tuntunan, pedoman hidup bagi umat islam dalam menjalani aktivitasnya. 

BAB II
USAHA MANUSIA
A. Kandungan QS. Ar Ra’d Ayat 11

                             •         
11. bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Tafsir QS. Ar Ra’d ayat 11 Menurut Tafsir Jalalain
011. (Baginya) manusia (ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran) para malaikat yang bertugas mengawasinya (di muka) di hadapannya (dan di belakangnya) dari belakangnya (mereka menjaganya atas perintah Allah) berdasarkan perintah Allah, dari gangguan jin dan makhluk-makhluk yang lainnya. (Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum) artinya Dia tidak mencabut dari mereka nikmat-Nya (sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri) dari keadaan yang baik dengan melakukan perbuatan durhaka. (Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum) yakni menimpakan azab (maka tak ada yang dapat menolaknya) dari siksaan-siksaan tersebut dan pula dari hal-hal lainnya yang telah dipastikan-Nya (dan sekali-kali tak ada bagi mereka) bagi orang-orang yang telah dikehendaki keburukan oleh Allah (selain Dia) selain Allah sendiri (seorang penolong pun) yang dapat mencegah datangnya azab Allah terhadap mereka. Huruf min di sini adalah zaidah.
Pada ayat 11 ini , al-Quran menegaskan komitmen Allah SWT dalam memberikan rahmat
kepada manusia, yakni dengan mengirimkan malaikat rahmat untuk selalu menyertai,
mengawasi dan menjaganya. Meskipun demikian manusia tetap diberi ruang yang
besar untuk menggapai apa yang diinginkan, sehingga apa yang dicapai bergantung
usahanya. Allah SWT tidak hanya memberikan anugerah berupa nikmat kepada manusia
atau masyarakat, tetapi juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk ikut
serta dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. Jadi pada surat al-Rad / 13:11
mengisyaratkan peluang keberhasilan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari ayat di atas dapat disimpulkan, hal pertama :
1. Bahwasanya kita selalu diawasi oleh para malaikat yang selalu mencatat segala amal perbuatan kita, jika itu perbuatan buruk, maka baru akan dicatat ketika tindakan itu telah dilakukan, tapi kalau amal kebaikan, baru berniat saja, sudah dicatat sebagai amal kebaikan.
2. Menyinggung tentang tawakal, bahwasanya tawakal itu dilakukan setelah kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu. tatkala kita sudah berjuang semaksimal mungkin baru kita tawakal, apapun yang terjadi, itulah hal terbaik menurut Allah, ingat, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah, dan hal yang buruk menurut kita, mungkin saja adalah hal yang baik menurut Allah.
3. Pelindung kita di dunia ini adalah Allah, adapun bahwasanya, kalau kita pakai kendaraan, kita pakai helm, itulah wasilah, sebuah jalan agar kita diselamatkan, tetapi bukan helm yang menyelamatkan kita, tetapi Allah(-menyambung dari no 2-). janganlah kita lupa, bahwasanya kita mungkin saja terjerumus pada syirik yang tidak disadari, misalnya, wah, habis makan aku jadi kenyang banget, atau habis makan aku jadi ngantuk banget, ingat, segala sesuatu selain Allah, itu hanyalah sebuah jalan, sedang yang membuat kita kenyang atau kantuk, itu semua kehendak Allah.
Sesungguhnya iman kepada Allah, ibadah kepada-Nya dengan istiqamah, menerapkan syari’at-Nya di atas bumi ini… semuanya merupakan realisasi sistem-sitem Allah. Sistem-sitem yang memiliki efektifitas positif yang mucul dari sumber yang sama dengan istem kauni yang kita lihat pengaruhnya melaluai perasaan/pengalaman dan laboratarium.
Sesungguhnya syari’at Allah merupakan bagian dari sistem Allah secara keseluruhan yang ada dalam alam semesta ini. Menerapkan syari’at tersebut pasti memberikan pengaruh positif dalam perjalan alam dan kehidupan manusia. Syaria’ tersebut merupakan buah dari iman yang tidak mungkin berdiri sendiri tampa dasar/pokoknya yang amat besar. Sebab itu, syari’at Allah diciptakan untuk diterapkan dalam amsyarakat Islam, sebagaiman ia juga diciptakan untuuk berperan dalam membangun masyarakat Islami. Syariat tersebut juga sempurna bersama konsepsi Islam terhadap alam semesta dan terhadap manusia. Apa yang dibangun oleh konsep tersebut ialah taqwa dalam hati, bersih dalam perasaan, fokkus kepada hal-hal besar, ketingian akhlak, konsistensi dalam prilaku. Dan begitulah seterusnya nampak jelas kesmpurnaan dan keselarasan antara sistem-sitem Allah, bersamaan apa yang kita namakan dengan hukum alam dengan apa yang kita namakan dengan nilai-nilai keimanan. Semuanya merupakan bagian dari sunnatullah (sistem Allah) yang konprehensive bagi alam semesta ini.
Manusia juga sebuah kekuatan dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam semesta. Amalnya, kehendaknya, imannya, kebaikannya, ibadahnya dan aktivitsnya semuanya merupakan kekuatan yang memiliki pengaruh positif di alam ini dan terkait dengan sunnatullah yang ada di alam ini secara keseluruhan. Semuanya bekerja secara serasi. Ia akan memeberikan buah secara sempurna bilamana kekuatan-kekuatan itu berhimpun dan harmonis. Demiakian juga akan melahirkan pengaruh negatif, mengalami kegoncangan dan merusak kehidupan serta menyebarkan kesakitan di antara manusia ketika berbagai kekuatan itu tercerai berai dan saling bertabrakan.


B. Kandungan QS. Al Anfaal Ayat 53
                   
53. (siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri[621], dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[621] Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.
Tafsir QS. Al-Anfaal ayat 53 menurut Tafsir Jalalain
053. (Yang demikian itu) disiksa-Nya orang-orang kafir (disebabkan) karena (Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum) dengan cara menggantinya dengan siksaan (sehingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka) sehingga mereka sendiri mengubah nikmat yang mereka terima dengan kekafiran, seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir Mekah; berbagai macam makanan dilimpahkan kepada mereka, sehingga mereka terhindar dari kelaparan, diamankan-Nya mereka dari rasa takut, dan diutus-Nya Nabi saw. kepada mereka. Kesemuanya itu mereka balas dengan kekafiran, menghambat jalan Allah dan memerangi kaum Mukminin. (Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui).
Pada surat al-Anfal / 8:53 secara lebih jelas disebutkan bahwa apa yang ada pada
suatu kaum itu ialah nikmat Allah SWT bagi manusia. Ayat sebelumnya (52) dan
sesudahnya (54) secara jelas menceritakan pasang surut kejayaan dan keruntuhan
Firaun dan orang-orang sebelumnya di mana siksaan Allah datang disebabkan oleh
perbuatan mereka mendustakan-Nya. Jadi surat al-Anfal /8:53, mengisyaratkan
bahwa kejayaan suatu kaum bergantung kepada apa yang ada dalam nafs mereka,
karena Allah SWT tidak akan mencabut atau mendatangkan suatu tingkat
kesejahteraan begitu saja kepada suatu kaum tanpa peran mereka, dan peran itu
bersumber dari apa yang ada dalam nafs mereka.
Dengan demikian kata mengisyaratkan bahwa nafs itu merupakan sisi dalam manusia
yang juga merupakan wadah bagi suatu potensi, dan sesuatu itu sangat besar
perannya bagi perbuatan manusia. Apa yang ada di dalam nafs manusia berperan
besar dalam mempertahankan, menambah atau mengurangi tingkat sosial ekonomi
masyarakat. Baik surat al-Rad maupun al-Anfal menghubungkan apa yang ada di
dalam nafs,-dan dari sana lahir perbuatan akan dapat melahirkan
perubahan-perubahan besar dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Pekerjaan melakukan perubahan adalah pekerjaan yang melibatkan gagasan, perasaan
dan kemauan. Oleh karena itu apa isi anfus seperti yang dimaksud dalam term
pastilah suatu potensi, atau sekurang-kurangnya diantara muatan nafs adalah
potensi, yakni potensi untuk merasa, berpikir dan berkemauan. Dari term dapat
dipahami bahwa nafs bukan alat, tetapi lebih merupakan ruang dalam atau rohani
manusia yang sangat luas dan juga manampung aneka fasilitas, ibarat ruang besar
yang berkamar-kamar, menampung seluruh aspek nafs manusia, yang disadari maupun
yang tidak disadari.
Hal ini diisyaratkan dalam surat Thaha / 20:7 yang berbunyi:
       

Dan jika kamu mengeraskan suaramu maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan
yang lebih tersembunyi[914].
.
[914] Maksud ayat ini Ialah: tidak perlu mengeraskan suara dalam mendoa, karena Allah mendengar semua doa itu walaupun diucapkan dengan suara rendah.
Tafsir Menurut Jalalain
007. (Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu) di dalam berzikir atau berdoa, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan suara keras engkau sewaktu melakukan hal tersebut (maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi) daripada rahasia, maksudnya adalah semua apa yang ada dalam hati manusia yang tidak diungkapkannya, maka janganlah engkau memayahkan dirimu dengan mengeraskan suaramu.
Menurut al-Maraghi, al-sirr atau rahasia adalah apa yang dirahasiakan seseorang
kepada orang lain, sedangkan makna akhfa atau yang tersembunyi adalah apa yang
terlintas di dalam hati tetapi sudah tidak disadari, sama dengan apa yang dalam
istilah Ilmu Jiwa disebut alam bawah sadar.
Mengenai kedua ayat tersebut, yakni QS. Ar Radd:11 dan QS. Al-Anfal:53 ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yakni:
1. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan social yang berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa yang akan dating. Keduanya berbicara tentang hokum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut individu. Ini dipahami dari penggunaan kata kaum pada kedua ayat tersebut.
Karenanya dapat kita simpulkan bahwa perubahan social tidak bias dilakukan satu orang saja tetapi harus melibatkan semua pihak, memang ide dan gagasan untuk melakukan perubahan itu berasal atau dilontarkan oleh orang perorangan, namun perubahan itu baru akan bias terlaksana apabila dilakukan dan di dukung oleh berbagai pihak. Demikian terlihat bahwa semua harus berakhir pada gerakan masyarakat yang ingin melakukan perubahan itu. Penggunaan kata kaum juga menunjukan hukum kemasyarakatan itu tidak hanya berlaku bagi satu golongan, satu umat, satu ras atau penganut agama tertentu saja, tetapi mencakup semua orang, semua golongan tidak memandang suku, ras atau agamanya. Hukum tersebut berlaku umum di manapun dan kapanpun kaum itu berada.
2. Karena kedua ayat tersebut berbicara tentang kaum/masyarakat maka tentulah perkara yang dibicarakan ataupun ketentuan yang dibicarakan menyangkut masalah keduniawian, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata bahwa ada pertanggung jawaban yang bersifat pribadi.hal ini senada dengan firman-Nya:
    • 
95. dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (QS. Maryam:95)
Dan juga firman_Nya:
•   •           
25. dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. (QS. Al Anfal:25)
3. kedua ayat tersebut berbicara tentang dua pelaku perbuatan, yakni yang pertama adalah Allahyang merubah nasib dan keadaan yang dialami oleh masyarakat melalui kehendak dan takdirnya dan yang kedua adalah Masyarakat yang melakukan perubahan dengan kekuatan dan diri mereka sendiri.
Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah atau dalam istilah ayat di atas dengan apa yang menyangkut banyak hal seperti kekayaan, kemiskinan, kesehatan, kemuliaan dan lain-lain yang berkaitan dengann masyarakat secara umum, bukan secara individu. Jika demikian bias saja orang yang kaya tetapi masyarakat di sekitarnya mayoritas orang miskin, maka masyarakat tersebut dinamai masyarakat miskin, demikian juga yang lainnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perubahan social akan terjadi jika manusia berusaha dengan diri mereka sendiri, dengan kemampuan yang mereka miliki. Tampa itu maka perubahan social itu mustahil akan terjadi.
Memang, boleh saja terjadi pergantian penguasa, boleh saja terjadi perubahan peraturan, tetapi jika system yang berlaku di masyarakat tidak berubah, maka keadaan tentu akan tetap bertahan sebagaimana adanya, dengan demikian yang paling pokok dalam keberhasilan perubahan social adalah perubahan sisi dalam manusia yang melahirkan aktivitas, baik itu positif ataupun negative.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memiliki dua sisi yakni sisi dalam yang dalam Al Quran dinamai dengan “Nafs” atau diri dan sisi luar yang dinamai dengan “Jisim” atau badan, yang mana kedua sisi manusia itu tidak selalu sama sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah Berikut ini:
           •  •   •             
4. dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar[1477]. mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. mereka Itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?

[1477] Mereka diumpamakan seperti kayu yang tersandar, Maksudnya untuk menyatakan sifat mereka yang buruk meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong tak dapat memahami kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan Terjemah Departemen Agama RI. Jakarta 1989.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta. 1982
Jalaluddin Al mahalli-Jalaluddin As Suyuthi, Tafsir Jalalain. Sinar Baru Algesindo. Bandung.2008
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al Mishbah. Jilid 5. Lentera Hati, 2002

Sabtu, 29 Mei 2010

PROPOSAL PTK

PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS


MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL MELALUI PENNDEKATAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH/PROBLEM BASED INTRUCTION (PBI) PADA SISWA KELAS VIII MADRASAH TSANAWIYAH INAYATUL MARZUKI DESA TATAH LAYAP KECAMATAN TATAH MAKMUR KABUPATEN BANJAR



Disusun oleh:
Zainal abidin
Nim. 0701258584




diajukan untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan pada progam S1 Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika merupakan disiplin ilmu yang bersifat khas. Salah satu kekhasannya adalah bersifar abstrak. Sifat inilah yang sering menimbulkan masalah bagi seseorang dalam mempelajari matematika, padahal matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Matematika merupakan pengetahuan yang esensial sebagai dasar untuk bekerja seumur hidup dalam era globalisasi (Hudoyo, 1994, 2). Karena itu, setiap manusia termasuk siswa perlu mengetahui dan menguasai matematika sebagai bekal hidupnya dalam memasuki era globalisasi ini.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi, tidak terkecuali di Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kab. Banjar. Dari hasil analisis penulis sebagai guru mata pelajaran di sekolah ini, dari hasil proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan pola pembelajaran yang lebih banyak didominasi oleh guru, ternyata keterlibatan siswa selama pembelajaran belum optimal sehingga berakibat pada perolehan hasil belajar siswa tidak optimal pula. Karena ternyata disini peran siswa tidak lagi sebagai subjek belajar melainkan sebagai objek pembelajaran. Tanggung jawab siswa terhadap tugas belajarnya seperti dalam hal kemampuan mengembangkan, menemukan, menyelidiki, dan mengungkap pengetahuan yang dimiliki masih sangat kurang. Sebab ternyata proses pembelajaran yang dilakukan lebih menekankan pada tuntutan kurikulum dan penyampaian tekstual semata dari pada pengembangan kemampuan belajar siswa tersebut.
Padahal peranan guru sebagai salah satu pemeran utama dalam proses pembelajaran haruslah profesional di bidangnya agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik sekaligus sebagai pengajar yang berkompeten. Untuk itu guru haruslah menguasai bahan yang diajarkan, terampil mengajarkannya, dan mampu mengatasi berbagai kendala yang ditemaui dalam pembelajaran. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah mampu memilih dan menggunakan dengan tepat metode, pendekatan, atau model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, materi yang diajarkan, dan karakteristik siswa agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara optimal.
Melihat dan mencermati hasil analisa yang penulis lakukan, teryata dengan proses pembelajaran yang telah dilakukan, capaian hasil belajar siswa kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar pada materi Sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) belum mencapai kriteria ketuntasan sebagaimana yang ditetapkan. Pada materi ini ada kurang lebih 60% siswa yang belum mencapai kriteria ketuntasan setiap kali diadakan evaluasi. Ketidaktercapaian ketuntasan belajar ini disebabkan oleh kurang mampunya siswa dalam menyelesaikan permasalahan sesuai tahapan penyelesaian soal berbentuk masalah. Pola pengajaran yang selama ini dilakukan ternyata belum mampu membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbentuk masalah, mengaktifkan siswa dalam belajar, memotivasi siswa untuk menemukan ide dan pendapat mereka, dan bahkan siswa masih enggan untuk bertanya pada guru jika mereka belum paham terhadap materi yang disajikan guru.
Untuk mengantisipasi masalah ini, guru perlu menemukan suatu pola atau model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan soal-soal berbentuk masalah, menumbuhkan kembali motivasi dan minat siswa dalam belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru hendaknya mampu menerapkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengembangkan, menemukan, menyelidiki, dan mengungkap ide siswa sendiri, serta melakukan proses penilaian yang berkelanjutan untuk mendapatkan hasil belajar siswa yang optimal. Dengan kata lain diharapkan kiranya guru mampu meningkatkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah siswa dalam matematika dan melakukan penilaian yang berkelanjutan.
B. Rumusan Masalah
Kemampuan memecahkan masalah merupakan tujuan umum dalam pengajaran matematika dan bahkan sebagai jantung matematika. Karena itu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dalam matematika perlu dilatih dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Kemampuan ini diperlukan siswa sebagai bekal siswa dalam memecahkan persoalan matematika dan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa memecahkan masalah adalah model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Intruction). Model ini merupakan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik (nyata) sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan dirinya.
Permasalahannya adalah apakah dengan pelaksanaan pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Instruction) pada siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar dapat meningkatkan hasil belajar siswa masih memerlukan penelitian secara empirik.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk melakukan penelitian tindakan kelas dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika khususnya pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan rumusan masalah sebagai berikut: “Apakah model pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa Kelas VIII Madrasah Tsanawiyah Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kecamatan Tatah Makmur Kabupaten Banjar?”
Secara rinci masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan hasil belajar siswa?
2. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran?
3. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran?
4. Apakah pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah mampu meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
Untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan di atas, penulis dan kolaborator melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Merancang perangkat pembelajaran berorientasi pembelajaran berdasarkan masalah yang meliputi, rencana pembelajaran, lembar kerja siswa, alat-alat bantu pembelajaran, dan lembar penilaian.
b. Melakukan simulasi untuk mengetahui apakah perangkat pembelajaran yang telah disusun layak untuk digunakan dalam penelitian.
c. Membuat lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memverifikasi apakah pelaksanaan pembelajaran materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
2. Mengetahui aktivitas siswa selama pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
3. Mengetahui aktivitas guru selama pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
4. Mengetahui kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Peneliti memperoleh informasi yang terpercaya yang dapat dijadikan bekal untuk mengajar di masa yang akan datang
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti dalam meningkatkan hasil belajar siswa.
E. Hepotesis Tindakan
Melalui pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variaber. Pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah juga akan dapat meningkatkan aktivitas siswa dan guru dalam proses pembelajaran, serta dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran.
F. Definisi Operasional
Yang dimaksud dengan meningkatkan hasil belajar disini adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk memahami, merumuskan, mengembangkan, menyelidiki dan memecahkan, permasalahan matematika yang berhubungan dengan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV).
Sedangkan yang dimaksud dengan meningkatkan aktivitas siswa adalah upaya untuk mengarahkan anak untuk lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran dan lebih menyenangi mata pelajaran matamatika melalui proses pembelajaran tersebut sehingga anak bukan lagi sebagai objek pembelajaran, melainkan sebagai subjek dari pembelajaran.
Adapun yang dikehendaki dengan meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran adalah upaya untuk menjadikan guru dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran, aktivitas guru tidak lagi cuma sekedar melakukan kegiatan pendahuluan, menutup, dan menyajikan konsep/teori kepada siswa, tetapi lebih kepada bagaimana guru mengorganisir siswa, mengarahkan siswa kepada masalah, membimbing dan membantu siswa memecahkan masalah, membantu siswa mengembangkan dan menyajikan hasil pemecahan masalah, serta menganalisa dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah.

BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian dan Makna Belajar
Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Belajar berarti berusaha, memperoleh kepandaian atau ilmu; membaca; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
Skiner (1973) mengartikan belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
M. Sobry Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004), mengartikan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dengan interaksi dengan lingkungannya.
C. T. Morgan (1962) mengartikan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang telah lalu.
Cronbach memberikan definisi: Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.
Harold Spears memberikan batasan: Learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction.

Geoch mengatakan: Learning is a change in performance as a result of practice.
Menurut Oemar Hamalik (2002) belajar adalah perubahan tingkah laku yang reatif mantap berkat latihan dan pengalaman.
Sedang menurut Pedoman Pembinaan Profesional Guru sekolah Dasar dan Menengah, Dirjen Dikdasmen, Depdikbud , Jakarta (1997-1998) yang dikutip dari skripsi Dimar R. yang berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII F SMP Negeri 01 Ketanggungan Brebes pada Pokok Bahasan Teorema Phytagoras Melalui Diskusi Dalam Kelompok-Kelompok Kecil” belajar didefinisikan sebagai berikut:
“Belajar merupakan proses perubahan tingkah siswa akibat adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, kemauan, minat, sikap, kemampuan untuk berpikir logis, praktis dan kritis”.
Selain itu belajar juga dapat diartikan sebaagi proses perubahan tingkah laku dari tidak tahu menjadi tahu dan belajar merupakan proses pengetahuan. Sebagai upaya untuk mencapai suatu perubahan kegiatan belajar itu sendiri harus dirancang sedemikian rupa sehingga seluruh siswa menjadi aktif, dapat merangsang daya cipta, rasa dan karsa. Dalam hal ini para siswa tidak hanya mendengarkan atau menerima penjelasan guru secara sepihak, tetapi dapat pula melakukan aktivitas-aktivitas lain yang bermakna dan menunjang proses penyampaian yang dimaksud. Misalnya melakukan percobaan, membaca buku, bahkan jika perlu siswa-siswa tersebut dibimbing menemukan masalah dan sekaligus mencari upaya-upaya pemecahannya.
Dari beberapa definisi di atas dapat diterangkan bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya serta merupakan hasil dari pengalamannya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungannya. Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa hasil dari belajar adalah perubahan, yaitu perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas belajar atau setelah melakukan aktivitas tertentu.
Ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul suparno, 1997) yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Belajar berarti mencari makna, makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami.
2. Kontruksi makna adalah proses yang terus menerus
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi merupakan pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukan ah hasil perkembangan, tetapi perkembangan itu sendiri.
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya.
5. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui, si subjek belajar, tujuan, motivasi yang memengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
B. Hasil Belajar
Menurut bahasa hasil berarti sesuatu yang diadakan, dibuat pikiran, tanam-tanaman, tanah sawah, ladang hutan, dan sebagainya; pendapatan; akibat kesudahan.
Menurut Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan, maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri individu yang belajar. Hasil belajar adalah hasilyang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen, [2003] dalam Fathul Himam, [2004])
Gagne (1985) menyebutkan ada lima macam hasil belajar, yaitu:
1. Keterampilan intelektual atau keterampilan proseduralyang mencakup belajar diskriminasi, konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang semuanya didapatkan lewat materi yang disampaikan guru di sekolah.
2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah baru dengan cara mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat, dan berpikir.
3. Informasi verbal, yakni kemampuan untuk menggambarkan sesuatu dengan kata-kata dengan cara mengatur informasi-informasi yang relevan.
4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5. Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan, serta faktor intelektual.
C. Pengertian dan Hakekat Belajar Matematika
Matematika, menurut Ruseffendi (1991), adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil. Sedang hakekat matematika menurut Soedjadi (2000), yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang deduktif.
Hakekat belajar matematika adalah suatu aktivitas mental untuk memahami arti dan hubungan-hubungan serta simbol-simbol, kemudian diterapkannya pada situasi nyata. Schoenfeld (1985) mendefinisikan bahwa belajar matematika berkaitan dengan apa dan bagaimana menggunakannya dalam membuat keputusan untuk memecahkan masalah. Matematika melibatkan pengamatan, penyelidikan, dan keterkaitannya dengan fenomena fisik dan sosial. Berkaitan dengan hal ini, maka belajar matematika merupakan suatu kegiatan yang berkenaan dengan penyelesaian himpunan-himpunan dari unsur matematika yang sederhana dan merupakan himpunan-himpunan bar, yang selanjutnya membentuk himpunan-himpunan baru yang lebih rumit. Demikian seterusnya, sehinga dalam belajar matematika harus dilakukan secara hierarki. Dengan kata lain belajar matematika pada tahap yang lebih tinggi harus didasarkan pada tahap belajar yang lebih rendah.
Selanjutnya Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural tau hierarki dalam belajar matematika. Kedelapan belajar tersebut adalah:
1. Belajar sinyal (signal learning)
2. Belajar Stimulus respons (stimulus-response learning)
3. Belajar merangkai tingkah laku (behavior chaining learning)
4. Belajar asosiasi verbal (verbal chaining learning)
5. Belajar diskriminasi (discrimination learning)
6. Belajar konsep (concept learning)
7. Belajar aturan (rule learning)
8. Belajar memecahkan masalah (problem solving learning)
Menurut Piaget seperti yang dikemukakan Bell Gredller bahwa untuk memahami konsep matematika dari konsep yang sederhana ke konsep yang lebih tinggi, berkembang seiring dengan perkembangan intelektual anak yang dipilahnya menjadi empat periode berpikir. Keempat periode berpikir itu, yakni:
1. Periode sensori motor
2. Praoperasional
3. Operasi konkret
4. Periode operasi formal
Menurut Piaget, perkembangan intelektual terjadi secara pasti dan spontan. Sedangkan anak belajar matematika sifatnya fleksibel, tidak tergantung pada umurnya. Dapat dipahami bahwa Piaget tidak sependapat jika belajar matematika dipandang sebagai suatu proses yang terbatas, yaitu lebih dipacu ke arah spontanitas terbatas untuk masalah tunggal (teori stimulus-respon). Ini disebabkan adanya struktur kognitif anak yang merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan dalam belajar matematika.
Struktur kognitif anak menurut Ausubel (dalam Romiszowski) berhubungan dengan struktur ingatan yang secara tetap terbentuk dari apa yang sudah dibentuk sebelumnya. Untuk itu, bahan pelajaran matematika yang dipelajari harus bermakna, artinya bahan pelajaran harus sesuai dengan kemampuan dan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematika yang baru perlu dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap dengan baik. Hakekat belajar matematika seperti ini oleh Ausubel disebut sebagai belajar bermakna.
Bruner misalnya, mengonsepkan belajar suatu bidang studi sebagai suatu proses informasi, transpormasi informasi ke dalam memori, serta uji relavansinya pada situasi atau permaslahan yang relevan. Lebih jauh menurut Bruner, persoalan inti dari belajar memecahkan masalah matematika terletak pada bagaimana informasi yang didapatkan disimpan di dalam memori sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil (retrieved) pada saat diperlukan. Saat yang dimaksud adalah ketika seseorang dihadapkan pada situasi atau permasalahan yang polanya baru.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika, sebaiknya dalam proses pembelajarannya perlu memperhatikan teori pemprosesan informasi. Sedikitnya ada empat tahap yang dilalui dalam pemrosesan informasi, yakni:
1. Pemasukan informasi yang akan dicatat melalui indra.
2. Simpanan jangka pendek, dimana informasi yang diterima hanya bertahan selama 0,5 sampai 2,0 detik.
3. Memori jangka pendek atau memori kerja, dimana data dalam jumlah terbatas dipertahankan selama dua puluh detik.
4. Memori jangka panjang, dimana data yang telah disandikan menjadi bagian dari sistem pengetahuan. Memori yang tidak tersandikan akan hilang dari sistem memori.
Menurut M. Sabry Sutikno (2007) untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pembelajaran, perlu diberlakukan usaha atau tindakan penilaian. Evaluasi adalah kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan suatu objek dengan menggunakan instrumen dan membandingkan hasilnya dengan tolak ukur untuk memperoleh simpulan.
Menurut Sardiman N., dkk., (1991: 242) sebagaiman dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah (2005: 247) tujan penilaian dalam proses belajar mengajar adalah:
1. Mengambil keputusan tentang hasil belajar.
2. Memahami anak didik.
3. Memperbaiki dan mengembangkan program pengajaran.
Menurut Sardiman N., dkk., pengambilan keputusan tentang hasil belajar merupakan suatu keharusan bagi seorang guru agar dapat mengetahui berhasil tidaknya anak didik dalam proses belajar mengajar.
Menurut Muhaimin, dkk., (2008) untuk pengendalian sistem mutu pendidikan yang diprogramkan, maka diperluakan suatu acuan standar sistem penilaian sesuai dengan acuan tuntutan standar penilaian pendidikan nasional dan kondisi masing-masing sekolah dalam mengukur keberhasilan program yang dikembangkan. Oleh karenanya, diantara sekian banyak yang perlu ditetapkan oleh sekolah untuk mengendailan mutu pendidikan tersebut adalah standar ketuntasan belajar.
Ketuntasan belajar berisi tentang kriteria dan mekanisme penetapan ketuntasan minimal per mata pelajaran yang ditetapkan oleh sekolah/madrasah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:
1. Sekolah/madrasah harus menetapkan ketuntasan belajar dengan mendasarkan pada peraturan yang berlaku dan kondisi nyata yang ada disekolah/madrasah. Peraturan yang berlaku meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga. Ketiga peraturan tersebut harus dalam bentuk saling memperkuat.
2. Dengan mempertimbangkan kondisi di atas, dalam setiap tahun ajaran baru, guru (dengan melalui forum guru serumpun) dapat menentukan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM), atau kriteria ketuntasan belajar minimal (KKM). SKBM atau KKM tersebut harus diinformasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah dan orang tua.
3. Sekolah/madrasah dapat menetapkan batas/standar ketuntasan belajar minimal di bawah nilai ketuntasan belajar maksimum (100) dengan catatan sekolah/madrasah harus merencanakan target dalam waktu tertentu untuk mencapai nilai ketuntasan belajar ideal.
4. Penetapan nilai ketuntasan belajar minimum (KKM) dilakukan melalui analisis ketuntasan minimum pada setiap indikator, KD dan SK. Masing-masing dimungkinkan adanya perbedaan nilai ketuntasan belajar minimal dan penetapannya harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Tingkat Kompleksitas (kerumitan dan kesulitan) tiap indikator, SK dan KD per mata pelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Tingkat kompleksitas tinggi bila dalam pelaksanaan suatu indikator, KD, SK mata pelajaran menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, penalaran dan kecermatan siswa yang tinggi, penerapan yang kompleks, sikap yang tinggi, SDM memahami kompetensi yang harus dicapai siswa secara kreatif dan inovatif dalam melaksanakan pembelajaran, membutuhkan waktu yang cukup lama karena pengulangan. Semakin tinggi tingkat kompleksitasnya maka semakin rendah nilai kompleksitasnya.
b. Tingkat kemampuan (intake) rata-rata siswa pada sekolah/madrasah yang bersangkutan. Hasil belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan peserta didik. Karena itu, dalam penetapan KKM, kondisi rata-rata kemampuan peserta didik perlu dijadikan dasar acuan standar keberhasilan pembelajaran. Pertimbangan intake siswa dalam menetapkan KKM kelas awal didasarkan pada rata-rata tingkat kemampuan awal peserta hasil seleksi PSB, nilai tes seleksi atau hasil yang dicapai pada satuan pendidikan sebelumnya. Sedangkan untuk kelas di atasnya didasarkan pada tingkat pencapaian KKM pada semester atau kelas sebelumnya. Semakin tinggi nilai rata-rata kemampuan peserta didik maka semakin tinggi nilai intakenya.
c. Kemampuan sumber daya dukung dalam penyelenggaraan pembelajaran pada masing-masing sekolah/madrasah. Semakin tercukupi sumber daya baik yang berupa sumber daya manusia atau suber daya lainnya, maka semakin tinggi tingkat keefektifan pembelajaran. Pertimbangan daya dukung sekolah/madrasah dalam menetapkan KKM dapat dapat didasarkan pada ketesediaan dan ketrcukupan tenaga pendidikan, fasilitas yang tersedia, sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, biaya opersional pendidikan (BOP), manajemen sekolah, kepedulian stakeholders sekolah/madrasah. Semakin tinggi tingkat ketercukupan dan kesesuaian daya dukung sekolah/madrasah, maka semakin mudah untuk mencapai hasil belajar, sehingga nilainya sangat tinggi.
D. Materi Ajar yang Berkaitan Dengan Penelitian.
1. Persamaan linear satu variabel
2. Persamaan Linear Dua Variabel (PLDV)
Suatu persamaan disebut persamaan linear dua variabel apabila persamaan tersebut memiliki dua buah variabel/peubah dan pangkat tertinggi masing-masing variabel/peubah tersebut adalah satu.
Bentuk umum persamaan linear dua variabel (PLDV) adalah:
ax + by = c
dimana a, b, dan c merupakan konstanta
x dan y merupakan variabel/peubahnya.
Atau dengan kata lain, Persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk ax + by = c dengan a, b, c Є R, a ≠ 0, b ≠ 0, dan x, y suatu variabel disebut persamaan linear dua variabel.
Contoh persamaan linear dua variabel
3x + y = 9
2a + b = 10
3. Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Apabila kita mempunyai dua buah persamaan linear dua variabel, yaitu a1x + b1y = c1 dan a2x + b2y = c2 atau sering ditulis
a1x + b1y = c1
a2x + b2y = c2
maka kedua persamaan iu disebut sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). Nilai x dan y yang memenuhi kedua persamaan kedua persamaan tersebut disebut penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel, dan nilai x dan y yang tidak memenuhi kedua persamaan tersebut bukan merupakan penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel.
Untuk menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV) dapat digunakan beberapa cara,yaitu dengan menggunakan metode grafik, metode eliminasi, metode substitusi, dan metode campuran.
a. Penyelesaian SPLDV dengan Metode Grafik
Untuk menyelesaiakan suatu SPLDV dengan metode ini ada beberapa ahapan yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menggambarkan setiap persamaan pada bidang Cartesius.
2) Menentukan titik potong kedua garis (persamaan) tersebut.
Pasangan koordinat titik potong kedua persamaan tersebut merupakan penyelesaian dari sistem persamaan linear dua variabel. Apabila kedua persamaan tersebut tidak memiliki titik potong, maka SPLDV tidak memiliki penyelesaian.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan metode grafik.
Jawab.
Persamaan x + 2y = 4 akan melalui titik-titik yang terdapat pada tabel berikut.
X 0 4
Y 2 0



Sedangkan persamaan x – y = 1 akan melalui titik-titik yang terdapat pada tabel di bawah ini.
X 0 1
Y -1 0

Grafik himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah sebagai berikut.

Tampak pada grafik di atas atas bahwa kedua garis berpotongan di titik (2,1)
Jadi himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah {(2,1)}.
b. Menyelesaikan SPLDV dengan menggunakan metode Eliminasi
Yang dimaksud dengan metode eliminasi adalah menghilangkan salah satu peubah (biasanya x dan y) pada persamaan linear dua variabel untuk mendapatkan penyelesaian.
Untuk menyelesaikan suatu SPLDV dengan menggunakan metode ini dapat dilakukan dengan langkah-langkah:
1) Jika koefisien dari variabel x atau y yang akan dihilangkan pada kedua persamaan linear tidak sama, maka langkah pertama adalah meyamakan terlebih dahulu koefisien yang akan dihilangkan tersebut dengan cara mengalikan/membagi dengan bilangan tertentu sehingga akan diperoleh koefisien yang sama.
2) Selanjunya lihat tanda kedua yang disamakan koefisiennya. Apabila keduanya memiliki tanda yang sama, maka keduanya dikurangkan satu dengan yang lainnya, dan apabila berbeda maka keduanya dijumlahkan.
Perhatikan contoh berikut
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode eliminasi.
Penyelesaian:
Untuk mendapatkan nilai y terlebih dahulu kita harus mengeliminasi nilai x dengan langkah/cara sebagai berikut

Dan untuk memperoleh nilai x kita eliminasi terlebih dahulu nilai y dengan cara sebagai berikut:

Sehingga diperoleh nilai x = 2 dan y = 1
3) Menyelesaiakan SPLDV dengan menggunakan metode substitusi
Metode substitusi adalah suatu metode penyelesaian sistem persamaan linear dengan cara mengganti atau menyulih variabel-varial yang ada sehingga ditemukan persamaan linear satu variabel.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah:
a. Merubah salah satu persamaan sehingga salah satu variabel menjadi bentuk fungsi variabel yang lain.
b. Mengganti variabel pada persamaan yang lain dengan fungsi tersebut.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode substitusi.
Penyelesaian:
Diketahui; x + 2y = 4 dan x – y = 1
Misal x – y = 1 kita ubah ke bentuk fungsi maka kita peroleh
x – y = 1
x – y + y = 1 + y
x = 1 + y
Langkah selanjutnya adalah mensubstitusikan fungsi x = 1 + y ke dalam persamaan x + 2y = 4, sehingga diperoleh
x + 2y = 4
(1 + y) + 2y = 4
1 + y + 2y = 4
1 – 1 + 3y = 4 – 1
3y = 3
y = 1
dengan mensubstitusikan y = 1 ke dalam salah persamaan tersebut diperoleh:
x + 2y = 4
x + 2(1) = 4
x + 2 = 4
x + 2 – 2 = 4 – 2
x = 2
sehingga himpunan penyelesaian dari x + 2y = 4 dan x – y = 1 adalah {(2,1)}.
4) Menyelesaikan SPLDV menggunakan metode campuran.
Seringkali dalam menyelesaikan SPLDV digunakan metode eliminasi dan substitusi secara bersamaan. Cara seperti ini biasa disebut metode campuran atau metode gabungan.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengeliminasi atau menghilangkan salah satu variabel kemudian mengganti dan mensubstitusikan nilai variabel yang didapat pada salah satu persamaan yang ada. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Tentukan himpunan penyelesaian dari sistem persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, dengan x, y adalah variabel pada himpunan bilangan real dengan menggunakan metode campuran.
Penyelesaian:
Dengan menggunakan metode eliminasi kita hilangkan salah satu variabel pada persamaan persamaan x + 2y = 4 dan x – y = 1, misal variabel yang akan kita eliminasi adalah variabel x, maka kita peroleh

Selanjutnya kita substitusikan y = 1 ke salah satu dari persamaan yang ada, misal kita substitusikan ke dalam persamaan x – y = 1 sehigga kita peroleh
x – y = 1
x – 1 = 1
x – 1 + 1 = 1 + 1
x = 2
E. Pengertian Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Winkel (1991), mengartikan pembelajaran sebagai seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar peserta didik, dengan memperhitungkan kejadian-kejadian eksternal yang berperanan terhadap kejadian-kejadian internal yang berlangsung dalam diri peserta didik.
Dimyathi dan Mudjiono, (1999) mengartikan pembelajaran sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa.
Dalam pengertian lain Iskandar, et al,. (1995) mengartikan pembelajaran sebagai upaya untuk membelajarkan siswa.
Sedang Arief. S. Sadiman et al., (1990) mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa.
Jadi pembelajaran tidak sama dengan belajar, karena belajar merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan yang baru, sedang pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan guru untuk membelajarkan siswa, atau dengan kata lain pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh guru/pendidik agar terjadi proses belajar pada diri siswa.
Menurut M. Sobry Sutikno (2007), dalam pembelajaran pendidik dituntut untuk dapat berfungsi dalam melaksanakan empat macam tugas berikut ini:
1. Merencanakan, baik untuk jangka panjang (satu tahun dan satu semester), maupun perencanaan jangka pendek (satu pertemuan). Perencanaan ini harus dilakukan dengan pemikiran yang matang agar tujuan dari pembelajaran dapat tercapai.
2. Mengatur, yang dilakukan pada waktu implementasi. Tugas ini berkenaan dengan apa yang mencakup rencana dan pengetahuan, tentang bentuk dan macam kegiatan yang harus dilaksanakan, dan bagaimana agar semua komponen dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
3. Mengarahkan, agar proses belajar dapat berjalan lebih lancar.
4. Mengevaluasi, untuk mengetahui apakah perencanaan, pengaturan dan pengarahan dapat berjalan dengan baik ataukah masih perlu diperbaiki.
Menurutnya, ciri-ciri pembelajaran secara detail meliputi:
1. Memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk siswa dalam suatu perkembangan tertentu.
2. Terdapat mekanisme, prosedur, langkah-langkah, metode, dan teknik yang direncanakan dan didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Fokus materi jelas, terarah, dan terencana dengan baik.
4. Adanya aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
5. Aktor guru yang cermat dan tepat.
6. Terdapat pola aturan yang ditaati guru dan siswa dalam proporsi masing-masing.
7. Limit waktu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
8. Evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi produk.
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan model pembelajaran yang mengikuti pola Top-down. Pembelajaran yang demikian ini merupakan implementasi dari teori belajar konstruktivisme. Penerapan pembelajaran ini adalah memecahkan masalah keseharian (authentik) sehingga anak sudah dibiasakan dengan situasi nyata sehari-hari.
Selain itu, dengan PBI guru dapat melatih siswa untuk menjadi pembelajar mandiri, meniru peran orang dewasa dan terbiasa memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang disiplin ilmu yang berbeda. Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) dikenal melalui berbagai nama seperti Pembelajaran Projek (Project Based –Learning), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experienced Based education), Belajar autentik (Autentic learning), Pembelajaran Berakar pada kehidupan nyata (Anchored instruction).
Arends (Hurhayati Abbas 2000: 12) sebagaimana dikutip Kusmini (2005: 22) menyatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri.
Menurut Nurhayati Abbas (2002: 12) sebagaimana dikutip lebih lanjut oleh Kusmini (2005: 22) menyatakan bahwa model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir krtitis dan menyelesaikan masalah, serta mendapatkan pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan megarahkan diri. Penggunaan pembelajaran berdasarkan masalah adalah pada tingkat berpikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pda masalah, termasuk bagaimana belajar.
Lev Vygotsky dalam muslimin Ibramin dan Mohamad Nur (2002:15) sebagaimana dikutip Muslimatun (2006) mengemukakan bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang menantang dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan oleh pengalamannya sendiri. Dia juga menambahkan bahwa interasi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa.
Pembelajaran berbasis masalah berusaha memantu siswa menjadi pebelajar yang mandiri dan otonom. Dengan bimbingan guru yang secara berulang-ulang mendorong dan mengarahkan mereka untuk mengajukan pertanyaan, mencari penyelesaian terhadap masalah nyata oleh mereka sendiri, siswa belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu sendiri.
Menurut Arends (Abbas:2000: 10) seperti yang dikutip Herman Wahyu Pratomo (2006: 10) ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah meliputi suatu pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, menghasilkan karya, dan penghargaan.
Tujuan Pembelajaran berdasarkan masalah adalah untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, belajar berperan sebagai orang dewasa yang autentik, dan menjadi pebelajar yang mandiri.
Adapun penerapan pembelajaran berdasarkan masalah ini terdiri atas lima tahap berikut:

Fase ke- Indikator Aktivitas atau Kegiatan Guru
1 Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
2. Mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperement, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4 Mengemangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa dalam merencanakan, menyiapkan karya yang sesuai, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.

F. Aktivitas Siswa
Menurut kamus bahasa Indonesia, aktivitas berarti kegiatan kesibukan; keaktifan; kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan.
Menurut Sardiman A. M (1986) dalam belajar diperlukan aktivitas. Sebab menurutnya pada prinsipnya belajar adalah berbuat. Berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan. Menurut Sardiman tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asa yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar.
Lebih lanjut ia mengutip pernyataan Montessori yang mengatakan bahwa anak-anak memiliki tenaga-tenaga untuk berkembang sendiri, membentuk sendiri. Pendidik akan berperan sebagai pembimbing dan mengamati bagaimana perkembangan anak didiknya. Menurut sardiman pernyataan Montessori ini memberikan petunjuk bahwa yang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam pembentukan diri adalah anak itu sendiri, sedang pendidik berperan untuk memberikan bimbingan dan merencanakan kegiatan yang akan diperbuat oleh anak didik.
Lebih lanjut ia mengutip pernyatan Rousseau yang menjelaskan bahwa segala perbuatan itu haruslah diperoleh dengan pengamatan sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun secara teknis. Menurutnya hal ini menunjukan bahwa setiap orang yang belajar harus aktif sendiri. Tampa ada aktivitas, belajar tidak mungkin terjadi.
Menurutnya sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian, di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Menurutnya banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan siswa di sekolah. Menurutnya aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat sebagaiman lazimnya terdapat di sekolah-sekolah tradisional. ia menjelaskan bahwa Paul B. Diedrich telah membuat suatu daftar yang berisi 177 (seratus tujuh puluh tujuh) macam kegiatan siswa yang diantara 177 cara tersebut dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Visual Activites, yang termasuk di dalamnya adalah membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, dan pekerjaan orang lain.
b. Oral Activites, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, dan interupsi.
c. Listening Activites, seperti mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato.
d. Writing activities, seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket, dan menyalin.
e. Drawing activites, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, dan diagram.
f. Motor activites, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan, membuat konstruksi, model reparasi, bermain, berkebun, beternak.
g. Mental activities, misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan.
h. Emotional activites, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, dan gugup.
Menurutnya dengan klasifikasi seperti yang diuraikan diatas menunjukan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Dan jika seandainya berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah-sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan kanm memperlancar peranannya sebagai pusat dan transformasi kebudayaan.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 84) aktivitas belajar anak meliputi:
1. Anak didik blajar secara individual untuk menerapkan konsep, prinsip, dam generalisasi.
2. Anak didik belajar dalam bentuk kelompok untuk memecahkan masalah.
3. Setiap anak didik berpartisipasi dalam melaksanakan tugas belajarnya melalui berbagai cara.
4. Ada aktivitas belajar analisis, sintesis, penilaian, dan kesimpulan.
5. Anak didik berani mengajukan pendapat.
6. Antar anak didik terjalinhubungan sosial dalam melaksanakan kegiatan belajar.
7. Setiap anak didik bisa mengomentari dan memberikan tanggapan terhadap pendapat anak didik yang lain.
8. Setiap anak didik berkesempatan menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia.
9. Setiap anak didik berupaya menilai hasil belajar yang dicapainya.
10. Ada upaya dari anak didik untuk bertanya kepada guru dan/atau meminta pendapat guru dalam upaya kegiatan belajarnya.
G. Aktivitas Guru
Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2005: 85) diantara aktivitas guru mengajar adalah:
1. Guru memberikan konsep esensial bahan pelajaran.
2. Guru mengajukan masalah dan/atau tugas-tugas belajar kepada anak didik, baik secara individual atau kelompok.
3. Guru memberikan bantuan mempelajari bahan pelajaran dan/atau memecahkan masalahnya.
4. Guru memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bertanya.
5. Guru mengusahakan sumber belajar yang diperlukan oleh anak didik.
6. Guru memberikan bantuan atau bimbingan belajar kepada anaka didik, baik individual maupun kelompok.
7. Guru mendorong motivasi belajar anak didik melalui pengahargaan dan/atau hukuman.
8. Guru menggunakan berbagai metode dan media pengajaran dalam proses mengajarnya.
9. Guru melaksanakan penilaian dan monitoring terhadap proses dan hasil belajar anak didik.
10. Guru menjelaskan tercapainya tujuan belajar dan menyimpulkan pengajaran dan tindak lanjutnya.
H. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran
Dalam kamus bahasa Indonesia mampu berarti kuasa, sanggup melakukan sesuatu; dapat; berada, kaya.
Jadi kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan untuk melakukan sesuatu.
Menurut Oemar Hamalik (2002) diantara kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah Kemampuan mengelola interaksi belajar mengajar dengan pengalaman mengajar. Kemampuan ini meliputi:
1. Mempelajari cara-cara memotivasi siswa untuk belajar.
2. Berlatih menggunakan cara-cara memotivasi siswa.
3. Mempelajari macam-macam bentuk pertanyaan.
4. Berlatih menggunakan macam-macam pertanyaan secara tepat.
5. Mempelajari beberapa mekanisme psikologis belajar mengajar di sekolah (transfer, reinforcement, retention, dan senbagainya.
6. Mengkaji faktor-faktor fositif dan negatif dalam proses belajar.
7. Mempelajari cara-cara berkomunikasi antarpribadi.
8. Berlatih menggunakan cara-cara berkomunikasi antarpribadi.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari bagaimana penelitian ini dilakukan, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas, merupakan rangkaian penelitian yang dilakukan secara siklik dalam rangka memecahkan masalah sampai masalah itu terpecahkan. PTK bertujuan untuk memperbaiki kinerja, sifatnya kontekstual dan hasilnya tidak untuk digeneralisasi. Penelitian tindakan di sini adalah kolaboratif partisipatoris, yaitu kerja sama antara peneliti dengan guru atau teman sejawat di lapangan. Peneliti terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.
Menurut Suhardjono (2007: 61) seperti dikutip Mohammad Asrori (2008: 13) tujuan penelitian tindakan kelas adalah:
a. Meningkatkan mutu isi, masukan proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
b. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam kelas.
c. Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan.
d. Menumbuh-kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan.
2. Desain Penelitian
Desain PTK mengacu pada model Kemmis dan MC Taggart (1988) yang terdiri atas empat komponen, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. PTK dilaksanakan dalam dua siklus.

B. Sasaran Penelitian
Penelitian dilaksanakan di MTs. Inayatul Marzuki Kelas VIII
C. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian pada semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011 di kelas VIII MTs. Inayatul Marzuki Desa Tatah Layap Kec.Tatah Makmur Kab. Banjar. Pelaksanaan berlangsung pada tanggal Oktober-Nopember 2010 selama 8 jam pelajaran. Tiap jam pelajaran berlangsung selama 40 menit.
D. Prosedur Penelitian
Prosedur Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimulai dengan siklus pertama yang terdiri atas empat kegiatan, yaitu, perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Apabila peneliti sudah mengetahui apa dimana letak keberhasilan dan hambatan dari tindakan yang telah dilakukan pada siklus pertama, maka peneliti akan membuat kembali rancangan tindakan yang akan peneliti lakukan pada siklus kedua. Kegiatan pada siklus kedua ini merupakan kelanjutan dari keberhasilan tindakan pada siklus pertama. Namun pada siklus kedua ini peneliti memberikan tambahan-tambahan tindakan untuk perbaikan dari hambatan dan kesulitan dari siklus pertama.
Berikut adalah bagan prosedur PTK yang akan peneliti lakukan dalam proses Penelitian Tindakan Kelas.

E. Kehadiran Peneliti di Lapangan
Sesuai dengan pendekatan penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian tindakan kelas, maka kehadiran peneliti di lapangan sangat diutamakan, karena peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana dan pembuat laporan.
Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh teman sejawat yaitu Uzair Yusra, S. Pd. Sebagai Observer yang mengamati aktivitas siswa dan guru selama berlangsungnya tindakan dan Rabiatul Adawiyah sebagai Observer yang mengamati proses Belajar Mengajar. Peneliti sebagai perencana tindakan artinya peneliti membuat perangkat pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Perlu diketahui bahwa yang mengajar atau melaksanakan tindakan adalah peneliti sendiri, peneliti sebagai pengumpul data, penganalisis data dan sekaligus pembuat laporan hasil penelitian.
G. Data dan Sumber Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data hasil ulangan harian siswa pada setiap akhir siklus, dan data pengelolaan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah. Sumber data adalah seluruh siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu kelas VIII yang berjumlah 34 orang merupakan sumber data secara klasikal.
Untuk mengumpulkan data dalam penelitian tindakan kelas ini digunakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian yang digunakan adalah angket, ulangan harian, dan lembar observasi.
H. Analisis Data
Data yang diperoleh dikumpulkan kemudian dianalisis. Perolehan data selama penelitian akan dianalisis sebagai berikut:
1. Analisis data observasi pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah
2. Data observasi diperoleh dari pengelolaan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah. Data ini digunakan untuk menganalisis kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = kurang baik
2 = cukup
3 = baik
4 = sangat baik
Data tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dianalisis dengan menghitung rata-rata setiap aspek dari beberapa kali pertemuan yang dilaksanakan. Selanjutnya nilai rata-rata tersebut direfleksikan dengan kriteria sebagai berikut (Indana, 1998):
0,00 – 1,69 = tidak baik
1,70 – 2,59 = kurang baik
2,60 – 3,49 = cukup baik
3,50 – 4,00 = baik
Pembelajaran dianggap telah berlangsung efektif bila guru telah mampu mengelola pembelajaran dengan mencapai kriteria baik atau cukup baik.
3. Analisis hasil ulangan harian
Data hasil ulangan harian akan digunakan untuk mengetahui ketuntasan siswa dalam belajar, dengan ketentuan sebagai berikut (Depdikbud, 1994):
a. Jika siswa secara individu telah mencapai skor minimal 65% dalam menyelesaikan soal tes sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KKM maka siswa dinyatakan tuntas dalam belajar;
b. Jika secara klasikal ada 85% siswa yang telah mencapai skor 65% maka pembelajaran bisa dikatakan tuntas.
I. Tahap-Tahap Penelitian
1. Tahap Pendahuluan
a. Menyusun Jadwal Penelitian
b. Menentukan Observer dan melaporkannya ke Kepala Sekolah
c. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran tentang materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Berdasarkan Masalah
d. Menyusun denah tempat duduk
e. Menyiapkan lembar kerja siswa
f. Menyusun soal ulangan harian.
g. Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas siswa
h. Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas guru
i. Menyusun lembar Observasi penilaian pengelolaan pembelajaran.
2. Tahap Tindakan
a. Siklus I
1) Rencana Tindakan
a) Menyipakan Rencana Pelaksanaan pembelajaran siklus I
b) Menempatka siswa sesuai denah yang telah disusun sebelumnya.
c) Menyiapkan lembar kerja siswa
d) Menyiapkan soal ulangan harian
e) Menyiapkan lembar penilaian proses belajar
f) Menyiapkan lembar observasi aktivitas siswa dengan pendekatan pembelajaran berdasarkan masalah.
g) Menyusun lembar observasi penilaian aktivitas guru
h) Menyusun lembar Observasi penilaian pengelolaan pembelajaran.
2) Pelaksanaan Tindakan
Sesuai dengan langkah-langkah pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
3) Observasi dan refleksi
b. Siklus II
Pelaksanaan Siklus II dilaksanakan stelah mempelajari hasil refleksi pada siklus I. Tahap-tahap pelaksanaan pada siklus II sama dengan tahap-tahap pada siklus I.


DAFTAR PUSTAKA
Ari Y, Rosihan dan Indriyastuti. Perspektif Matematika 1 untuk Kelas X SMA dan MA. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2008
Asrori, Mohammad. Prof. Dr. H. M. Pd.. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: CV. Wacana Prima. 2008.
Damari, Ari. Mari Belajar Matematika untuk SMA dan MA Kelas X. Surabaya: SIC. 2005
Dimar R. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII F SMP Negeri 01 Ketanggungan Brebes pada Pokok Bahasan Teorema Phytagoras Melalui Diskusi Dalam Kelompok-Kelompok Kecil, Skripsi. Semarang: Universitas Negeri semarang. 2006
Djamarah. Syaiful Bahri. Drs. M. Ag.. Guru dan Anak Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005
Hamalik, Oemar. Prof. Dr. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. 2008
Heruman. S. Pd. M. Pd.. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008Hoetomo M. A.. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar. 2005
Iskandar, Dr. M. Pd.. Penelitian tindakan Kelas. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Kunandar, S. Pd. M. Si.. Langkah Mudah Penelitian tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Kusmini. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mengembangkan Kecakapan Matematika Siswa Siswa SD Kelas V Sebagai Impementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005. t. d.
Muhaimin. Prof. Dr. H. M. A.. dkk., Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Muslimatun. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penekanan Representasi untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Kerjasama dalam Kelompok Pokok Bahasan Dalil Phythagoras Siswa SMPN I Semarang Kelas VIII Tahun Pelajaran 2005/2006: Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006.. t. d.
Nurdin, Hasan. Belajar Aktif Matematika untuk SMP dan MTs. Kelas VIII. Surabaya: PT. Tropodo Jaya Lestari. 2006
Pratomo, Herman Wahyu. Keefektifan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Terhadap kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Kelas X SMA Negeri 5 SurakartaSemester I Tahun Pelajaran 2005/2006, Skripsi, Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2006. t. d.
Rusoni, Elin. Dra. Buku Pedoman Guru Madrasah sanawiyah Bernuansa Islam Dengan Pendekatan Keterampilan Proses Matematika Untuk Kelas I, II, III. Jakarta: Departemen Agama RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.1997
Sardiman A. M. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Sujatmiko, Ponco. Matematika Kreatif Konsep dan Terapannya 2 untuk Kelas VIII SMP dan MTs. Solo: PT Tiga Serangkai. 2005.
Sutikno, M. Sobry, Dr. Belajar dan Pembelajara, Bandung: Prospeks, 2009
Susilo, Herawati. Prof. Dra. M. Sc. Ph. D. Dkk.. Penelitian Tindakan Kelas sebagai Sarana Pengembangan Kepofesionalan Guru dan Calon Guru. Malang: Bayu Media, 2009.
Uno, Hamzah B. Prof. M. Pd. Model Pembelajaran Menciptakan Prose Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara, 2009